Yogyakarta, 28 September 2022–Dalam menyambut Dies Natalis ke-67, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM bersama Digital Media and Communication Research Center (Decode) UGM mengadakan diskusi bertajuk “Refleksi 20 Tahun UU Penyiaran” pada Rabu (28/9). Diskusi ini mengundang dua mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UGM sebagai narasumber, yakni Budhi Widi Astuti (Program Doktoral) dan Paulus Angre Edvra (Program Magister).
Perjalanan penyiaran di Indonesia diawali pada tahun 1998 atau disebut era reformasi yang ditandai dengan hadirnya kebebasan pers. Pada tahun ini, terdapat dua landasan hukum yaitu Amandemen UUD 1945 dan UU HAM, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya UU Pers No. 40 pada 1999 dan UU Penyiaran No. 32 dan P3SPS pada 2002. Lahirnya undang-undang tersebut akhirnya memberikan kita hak untuk mendapatkan, mengakses, dan mendistribusikan informasi dengan bebas.
Berkaitan dengan demokratisasi penyiaran, Widi menyoroti prinsip distribusi informasi pada media lokal radio. Bahwa, apakah informasi yang disampaikan oleh lembaga penyiaran itu sudah tepat sasaran sesuai dengan khalayaknya atau belum. Karena terkadang para pelaku industri di media radio masih belum bisa menyesuaikan jam tayang untuk orang dewasa atau anak-anak, dan juga untuk siapa jenis konten tersebut seharusnya ditujukan.
“Ini sebuah refleksi yang kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita semua sekaligus PR karena ternyata tidak semua pelaku atau industri radio itu memahami tentang UU Penyiaran dan P3SPS,” tutur Widi.
Jika kita melihat fakta kondisi di lapangan, terdapat banyak permasalahan pada media lokal radio yang tidak sesuai dengan UU Penyiaran. Di antaranya: jumlah lembaga penyiaran yang meningkat pesat tidak disertai dengan peningkatan kualitas siaran dan kompetensi penyiar yang baik; karakteristik auditif, bahasa tutur, theater of mind dilupakan; persentase penyiaran konten lokal masih kurang; terlalu mengutamakan insting bisnis saja; dan sebagainya.
Sementara, Angre mengungkapkan bahwa sejak 2020, terjadi peningkatan konsumsi konten penyiaran, baik radio maupun televisi. Meningkatnya jumlah kepemirsaan, persiapan ASO (Analog Switch-Off) televisi di Indonesia, dan bertumbuh pesarnya layanan OTT (Over the Top) membuat ekosistem siaran kembali bergeliat. Namun, UU Penyiaran dinilai gagap untuk menjawab permasalahan seputar layanan OTT salah satunya terkait bagaimana peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dalam mengontrol konten.
Oleh karena itu, revisi terhadap UU Penyiaran perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan kedepannya. “Bagaimana pun, regulasi perlu diperbarui guna menciptakan ekosistem penyiaran yang ‘berdasar asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab’,” ucap Angre. (/WP)