Yogyakarta, 27 Desember 2022—Dalam rangka upaya penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada sektor lahan gambut dan mangrove, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) secara hybrid pada Selasa (27/12) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. FGD yang terselenggara atas kerja sama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove ini, mengambil topik utama “Penerapan Kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam Pelaksanaan Restorasi Lahan Gambut dan Rehabilitasi Mangrove”.
Komitmen untuk berkontribusi dalam menurunkan tingkat emisi karbon sebagai langkah pengendalian krisis iklim menjadi salah satu latar belakang diangkatnya topik diskusi. Dalam hal ini, secara khusus terkait kebijakan Nilai Ekonomi Karbon pada sektor lahan gambut dan mangrove.
“Dua ekosistem lahan basah, gambut dan mangrove, memiliki peran penting untuk mitigasi perubahan iklim. Karena kedua ekosistem ini memiliki kapasitas menyimpan karbon yang tinggi. Gambut mempunyai kapasitas penyimpanan karbon 10 sampai 13 kali dibandingkan ekosistem lain. Sementara itu, mangrove, selain mempunyai kemampuan untuk menyerap gas rumah kaca juga dapat menyimpan karbon yang telah diserap. Karena mangrove besarnya bisa 5 sampai 6 kali dari ekosistem hutan tropis terestrial,” ujar Ir. Hartono, selaku Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Namun demikian gambut dan mangrove telah mengalami degradasi, yang selanjutnya merujuk pada tantangan dalam restorasi dan rehabilitasi. Disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Satyawan Pudyatmoko, Deputi Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dalam paparannya, 4 (empat) tantangan dalam restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Pertama, bahwa kesadaran, kapasitas dan kesejahteraan masyarakat sekitar mangrove dan gambut perlu ditingkatkan. Kedua, kelembagaan pengelolaan tingkat tapak perlu dibangun dan diefektifkan. Ketiga, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar sektor dan masyarakat. Keempat, terkait kerjasama untuk pemenuhan sumberdaya pelaksanaan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.
“Berdasar FOLU Net Sink 2030, Indonesia berkomitmen untuk dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca di sektor lahan sebesar 17,4% atau mengurangi emisi karbon 140 juta ton setara CO2. Untuk menurunkan emisi sebesar itu sampai 2030, biaya yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 204 triliun. Sebagian besar biaya ini akan ditanggungkan kepada usaha yang memiliki izin bisnis sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Disinilah pengaturan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) nanti berperan,” jelas Ir. Laksmi Dhewanti, M.A. IPU, selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam paparannya melalui platform Zoom Meeting.
Pengaturan NEK secara umum meliputi perdagangan karbon melalui perdagangan emisi dan offset karbon, insentif karbon melalui pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atau pajak emisi. Lebih lanjut, Laksmi juga menjelaskan bahwa NEK merupakan salah satu instrumen yang dapat mendukung pencapaian target. Namun yang paling dibutuhkan adalah tentang bagaimana menyusun rancangan target dan rancangan aksi mitigasi untuk gambut dan mangrove.
Termasuk diantaranya adalah tentang bagaimana lahan gambut berkontribusi dalam NEK sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Ir. Trias Aditya Kurniawan, Dosen Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM dalam presentasinya. Mendukung hal tersebut, Sigit Sunarta, Ph.D, Dekan Fakultas Kehutanan UGM turut memaparkan strategi hingga peran stakeholders dalam Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Dengan harapan Indonesia dapat mencapai Nationally Determined Contribution (NDC).
FGD ini dihadiri oleh berbagai kelompok kepentingan mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat hingga pelaku industri. (/taj)