Yogyakarta, 6 Juli 2023—Seiring berkembangnya teknologi, pengembangan tidak lagi bertujuan untuk pemerataan, namun sudah mengedepankan aspek inklusivitas dalam masyarakat. Hak dasar manusia dimaknai sebagai hak yang dimiliki setiap individu sejak lahir, tanpa pengecualian. Berbagai akses informasi, fasilitas, bahkan regulasi masih belum inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Australia-Indonesia in Conversation: Valuing Democracy and Diversity: Equity, Leadership, and Social Justice mengangkat isu ini dalam tema “Policies and Practices to Promote Equity, Social Justice, and Rights Recognition” pada Kamis (6/7).
Kondisi tidak inklusif ini tidak semata-mata karena disebabkan oleh perkembangan zaman. Konstruksi sosial dan budaya di masyarakat juga turut andil dalam membentuk perspektif masyarakat terhadap kelompok marginal atau rentan. Studi Dosen Departemen Sosiologi, Fina Itriyati, menggambarkan bagaimana perempuan disabilitas mengambil peran dalam keluarga berlatarbelakang budaya jawa. “Perempuan disabilitas diketahui mengalami diskriminasi berkepanjangan, namun mereka berkembang menjadi individu yang ulet dan terambil, serta beradaptasi dengan lingkungan tersebut,” tutur Fina.
“Masyarakat era ini pun masih memandang kelompok disabilitas sebagai individu dengan kekurangan kemampuan, baik fisik dan mental, kekurangan kemampuan berpikir, bahkan dianggap tidak mampu berperan dalam masyarakat. Unsur diskriminatif ini masih banyak ditemui, khususnya di daerah pedesaan dengan budaya kental,” tambahnya. Meskipun diskriminasi banyak terjadi pada perempuan disabilitas, hal ini tidak mengurangi peran mereka dalam keluarga maupun masyarakat. Perempuan disabilitas beradaptasi baik dalam pekerjaan rumah dengan segala kekurangannya.
Hal yang sama terjadi di Australia, bahkan di institusi pendidikan. Dr. Catherine Smith, Dosen Senior University of Melbourne menyatakan bahwa institusi pendidikan justru sangat rentan mengalami kasus pembullyan. “Saya memiliki seorang murid, tubuhnya lebih kecil dibanding yang lain, tidak terlalu mencolok juga, jika ia berbicara suaranya sangat kecil, dan ia cenderung dijauhi oleh teman-temannya,” tutur Catherine.
Catherine menganggap bahwa perkembangan teknologi, khususnya internet membawa dua sisi dalam kehidupan masyarakat saat ini. “Internet membantu kita terhubung dengan orang lain secara cepat tanpa memandang jarak dan waktu, namun justru membuat kita kurang peka terhadap sekitar,” ucapnya. Internet telah memberikan gambaran dan standarisasi terhadap berbagai hal, sehingga melupakan fakta bahwa masyarakat terdiri dari individu heterogen yang seharusnya bisa saling menghargai.
Wacana inklusivitas di Indonesia sendiri terus digalakkan, walaupun tertinggal jauh dengan negara lain. Pengalaman tersebut disampaikan oleh Slamet Thohari, S.Fil., MA sebagai Founder Disability Service Center, Universitas Brawijaya. “Pengalaman saya selama di Australia sangat berbeda dengan Indonesia. Saya merasa bahwa fasilitas di sana sudah sangat ramah bagi disabilitas baik dari segi fasilitas umum maupun pelayanan. Sedang di Indonesia, masih wacana ini sepertinya masih belum bisa masuk ke rencana pembangunan,” ucap Slamet.
Diskusi inklusivitas ini memberikan gambaran besar bagaimana Indonesia perlu berbenah dalam proses pengembangan infrastruktur. Tidak hanya mengedepankan teknologi bersaing saja, namun mempertimbangkan aspek inklusivitas bagi seluruh kalangan. (/tsy)