Yogyakarta, 18 Agustus 2023—Kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat telah lama dicantumkan dan dijamin oleh konstitusi Indonesia. Seiring berkembangnya zaman, peran teknologi dalam mengakomodasi kebebasan berekspresi memunculkan banyak kontroversi. The Conversation Indonesia bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mengangkat isu ini dalam diskusi bertajuk “Ekspresi vs Represi: Merefleksikan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia” pada Jumat (18/8).
“Secara umum demokrasi di indonesia dianggap menurun kualitasnya. Kalau kita lihat lagi secara lebih dalam, sebetulnya yang turun adalah komponen kebebasan sipil. Ini sendiri sebetulnya sendiri bukan tren di Indonesia, melainkan global. Ada namanya kualitas demokrasi dan perhitungannya yang kemudian disebut regresi demokrasi ini menjadi tantangan,” ucap Dosen Fisipol UGM, Amalinda Savirani, S.IP., MA.,PhD. Salah satu komponen dalam kualitas demokrasi adalah kebebasan sipil untuk berbicara dan berekspresi.
“Kalau dulu pada masa Orde Baru, dikenal dengan misalnya pemberedelan ya, jadi pers itu dicabut izinnya sehingga tidak bisa terbit. Tapi yang terjadi di zaman sekarang itu cenderung self censorship, jadi membatasi dirinya sendiri karena malas ribut, sederhananya. Menurut saya ini yang jauh lebih berbahaya daripada pembatasan sebuah rezim dalam kebebasan sipil,” tambah Linda. Menurutnya, fenomena ini membangun kecenderungan seseorang untuk tidak mengutarakan pendapatnya di publik, karena takut mendapatkan ujaran kebencian.
Kebebasan berekspresi sipil tidak hanya dipengaruhi oleh kesadaran diri dan ketakutan seseorang akan kebencian dari individu lain, namun juga berkaitan dengan praktik hukum yang diterapkan. Indonesia sendiri telah membangun beberapa hukum yang mengatur kebebasan sipil dalam berpendapat. “Aparat hukum jika ingin menuntut seseorang karena kebebasan berpendapat itu sebenarnya tinggal pilih, mau pakai hukum yang mana. Budaya penegakkan hukum kita itu lebih tendensi bukan terhadap mengacu pada aturan hukum tapi bagaimana adanya pengaruh politik. Saya kira ini memerlukan reformasi hukum ya. Dan jika kita mau melakukan reformasi, maka harus diikuti dengan perubahan budaya penegakkan hukumnya,” ungkap Julian Duwi Prasetya, selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Praktik represi hukum akan kebebasan berbicara dan berkeskpresi yang terjadi masih belum memiliki landasan yang kuat. Julian mengungkapkan, contoh nyata penekanan hukum ini banyak terjadi pada aksi-aksi demo dan protes yang dilakukan masyarakat ataupun mahasiswa. “Terjadi kemarin saat masyarakat melakukan aksi protes terhadap lingkungan di Wadas, beberapa itu ditangkap oleh Polres Purworejo. Jadi menurut saya harus ada perubahan dan andil dari pemerintah terkait implementasi penegakkan hukumnya, khususnya aparat hukum,” ungkapnya.
Menjelang tahun politik, tentunya banyak aksi-aksi kritik yang digelar terhadap berbagai kampanye politik. Persoalan represi ini menjadi penting ketika bentuk partisipasi politik masyarakat justru ditekan dan dibatasi hingga menurunkan kualitas demokrasi Indonesia. Reformasi hukum yang dibutuhkan tidak hanya menjadi bentuk konstruksi kondisi politik Indonesia, namun juga pembebasan hak-hak sipil untuk berekspresi dan mengutarakan pendapat. (/tsy)