Yogyakarta, 19 September 2023─Menyambut Dies Natalis ke-68, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan serangkaian acara yang diawali dengan Pidato dan Seminar Pembukaan bertajuk “Pemilih Cerdas untuk Pemimpin Indonesia Masa Depan”. Acara tersebut diselenggarakan secara luring pada Selasa (19/9) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Hadir sebagai pembicara dalam sesi talkshow yaitu Rizal Mallarangeng, Founder Freedom Institute; Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit & Media Kernels Indonesia; serta Hermin Indah Wahyuni, Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM) Universitas Gadjah Mada.
Nunung Prajarto, Guru Besar DIKOM, memulai acara dengan menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Keterbelahan Celah Ilmiah”. Dalam pidatonya, Nunung mengkritisi iklim dalam lingkup penelitian akademik yang cenderung bermain-main dan mengalir dalam zona aman. “Peneliti kerap terjebak mengungkap masalah yang sebetulnya baik-baik saja,” ujar Nunung. Hal tersebut dapat menyebabkan tidak adanya pemecahan terhadap suatu permasalahan. Penelitian cenderung menjadi legitimasi terhadap suatu institusi saja. Berkaca pada fenomena tersebut, Nunung mengajak para peneliti untuk mulai membuka dan membebaskan diri, jangan terkungkung pada kebiasaan-kebiasaan lama. Lebih lanjut, Nunung juga mengkritisi kecenderungan kurikulum yang lebih mengarah pada wilayah hilir daripada hulunya. Sebagai konsekuensi, kita lebih banyak melihat hasil daripada sumber. Nunung mengaku bahwa hal tersebut memang lebih menarik bagi industri. “Tetapi kita gagal menemukan sumber permasalahan,” ujar Nunung.
Usai pidato disampaikan, acara dilanjutkan dengan sesi talkshow yang dimoderatori oleh Nyarwi Ahmad, Dosen DIKOM. Sejalan dengan pendapat Nunung mengenai pentingnya melihat wilayah hulu, penting pula untuk membicarakan mengenai pemilih yang dianggap oleh Nyarwi sebagai hulu dari demokrasi. Menurut Rizal, sangat penting bagi pemilih untuk dapat bersikap dan berpikir secara cerdas. Terlebih pada era digital di mana komunikasi sangat mudah terjalin melalui keberadaan media sosial yang juga semakin memudahkan persuasi melalui retorika. “Kita harus mempelajari bagaimana retorika berevolusi,” ujarnya.
Fahmi menyetujui pendapat Rizal mengenai pemilih yang cerdas. Dirinya menyebut bahwa saat ini, kita berada dalam era attention economy yang menempatkan atensi manusia sebagai komoditas. Lebih lanjut, hal ini juga dibarengi dengan berkembangkan model bisnis disinformation-for-profit. “Konten kontroversial lebih menarik dan lebih cepat menyebar,” ungkap Fahmi. Hal tersebut membuat kecerdasan pemilih menjadi lebih penting lagi mengingat algoritma dan iklim media sosial juga mendukung tersebarnya konten kontroversial.
Terakhir, Hermin memberikan empat hal penting yang dibutuhkan untuk menjadi pemilih yang cerdas, yaitu informasi, rasionalitas, teknologi digital, serta literasi digital. Menurut Hermin, ekosistem informasi akan menentukan kualitas Pemilu. Di tengah hiruk-pikuk dan simpang siur informasi yang beredar, masyarakat membutuhkan rasionalitas untuk merespons hal tersebut. “Rasionalitas dalam pemilu itu meliputi memahami makna memilih; aktivasi keagensian, mengerti alasan memilih calon tertentu, serta kecerdasan untuk mengkontekstualisasikan kebutuhan Indonesia yang esensial,” kata Hermin. Informasi dan rasionalitas pemilih, apabila dibarengi dengan teknologi digital serta literasi digital yang baik diharapkan dapat menghasilkan pemilih yang cerdas. (/tt)