Soal Kecerdasan Digital: Degradasi atau Akselerasi Penyelenggaraan Pemilu yang Optimal?

Yogyakarta, 5 Oktober 2023─Digitalisasi kini telah merambah dalam beragam bidang, termasuk ranah politik. Meski demikian, perlu dicermati apakah digitalisasi telah diimbangi dengan literasi digital dalam meresponnya. Sebab kecerdasan digital saat ini kadang masih gagap dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung akselerasi kualitas hidup. Menyambut Pemilu 2024 di tengah era digital, DMKP Fisipol UGM menghelat seminar dalam rangka Dies Natalis FISIPOL UGM ke-68 pada Kamis (05/10) di Auditorium Fisipol UGM dengan tema “Transformasi Pemilu 2024: Kecerdasan Digital sebagai Katalisator Perubahan”.

Yuli Isnadi, Dosen DMKP UGM menyorot adanya pendegradasian kecerdasan digital dalam pemilu. Perkembangan dari teknologi, komunikasi, dan informasi tidak terelakkan dapat mengubah perangkat sosial. Seperti media sosial yang memberikan ruang untuk mewakili hak diri sendiri, seperti hak bersuara atau berpendapat tanpa diwakilkan oleh kelompok serta algoritma yang memberikan efek bubble sehingga tidak ada proses berpikir kritis dan hanya mengkonfirmasi keyakinan sebelumnya.

“Selain itu, ada fenomena hoaks yang mengikuti jadwal kalender pemilu. Artinya hoaks tidak terjadi secara natural tapi by design,” jelas Isnadi.

Hal ini berdasar pada hasil laporan milik Masyarakat Anti Fitnah Indonesia 2023 yang menyebut bahwa terdapat penyebaran hoaks sekitar 40% tentang pemilu, dengan Facebook sebagai media sosial tertinggi penyebarannya hoaks. Hal serupa disampaikan Iradat Wirid, Executive Secretary CfDS, yang menyoroti tentang penyelenggaraan pemilu 2024 terkesan tergesa-gesa dan tidak memberikan masyarakat informasi secara jelas. Menurut Wirid, pemilu 2024 juga memiliki tantangan seperti misinformasi, disinformasi, dan teknologi kecerdasan buatan seperti buzzer, deepfake, hingga cyber troop.

Corporate Communication Lead Bijak Memilih, Yosifebi Ramadhani juga menyebut bahwa kampanye bacapres saat ini cenderung terpolarisasi pada masalah personal daripada kebijakan tentang urgensi permasalahan di masyarakat.

“Tidak ada yang salah dengan kampanye ‘reliability’ itu, tapi penting bagi kita sebagai pemilih untuk tidak lupa dengan masalah-masalah yang ‘relate’ dengan kita di masa depan,” tukas Yosi. 

Sementara itu, Bijak Memilih sebagai gerakan independen berupaya mengkurasi informasi objektif dan relevan dengan mudah sehingga membantu pemilih memperoleh pemahaman yang baik terkait partai politik maupun aktor politiknya. Kecerdasan digital dalam beragam bidang juga perlu diatasi dengan literasi digital yang baik dan merata di seluruh lapisan masyarakat. CfDS sebagai pusat kajian dibawah FISIPOL telah berhasil selenggarakan Kelas Kecerdasan Digital sebagai salah satu upaya literasi digital bagi masyarakat.

Menariknya, meski saat ini Indonesia telah memasuki era digital, penyelenggaraan pemilu secara digital nampaknya masih jauh dari angan. Isnadi mengatakan bahwa banyaknya faktor yang belum optimal seperti sarana prasarana, masalah cyber security, hingga post-politik besar menjadi penghambat bagi Indonesia untuk melakukan digitalisasi pemilu dalam 5 atau 10 tahun mendatang.

Agenda ini sejalan dengan komitmen UGM untuk mendukung SDGs 16 yakni Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh. (/dt)