Yogyakarta, 31 Januari 2024—Suasana menjelang Pemilu 2024 mendatang memunculkan berbagai dinamika publik. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, kali ini serangkaian isu kontroversial banyak muncul bahkan sejak akhir tahun lalu. Isu-isu ini kemudian disoroti oleh para ahli dan pengamat politik, tak terkecuali Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Pada Selasa (30/1), akademisi, ahli, dan media menggelar “Diskusi Bersama Media: Suara Fisipol UGM untuk Demokrasi yang Berkualitas”.
“Secara umum, demokrasi kita sedang mengalami kontraksi yang luar biasa besar sebagai salah satu dampak dari proses elektoral yang sedang berlangsung. Isu yang perlu kita respon, mulai dari bagaimana kita menjaga kualitas pemilu sebagai pondasi penting dari demokrasi kita. Ada juga bagaimana kita menjaga media sosial kita tetap sehat, sehingga demokrasi kita kedepan tetap dalam kerangka politik yang sehat dan maju,” tutur Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi. Isu-isu yang disebabkan oleh bercampurnya kepentingan berbagai pihak ini dinilai mengancam kualitas demokrasi. Untuk itu, perlu adanya upaya bersama dari ahli, media, bahkan masyarakat untuk mengawal jalannya Pemilu 2024 ini, sebagaimana sejalan dengan SDGs 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh).
Penilaian akan kualitas demokrasi perlu diberikan batasan sesuai tahapannya. Menurut Kuskridho Ambardi, MA, Ph.D., Dosen Departemen Sosiologi, fokus publik dalam menilai demokrasi ini hanya sebatas pada pemilu presiden, dan penilaian kualitas pemilu presiden berada di urutan paling bawah dibanding pemilihan lainnya. Idealnya, harus ada penilaian dari setiap tingkatan pemilu. Tingkatan ini terdiri dari banyak cabang, baik tingkat daerah ke tingkat pusat, ataupun tingkat legislatif ke eksekutif. “Saya kira pemilu serentak ini harus berkesinambungan satu sama lain. Publik ini harus bisa melihat prestasi dari setiap kandidat ini dari mana ke mana, sehingga kita tidak dikagetkan dengan kandidat mendadak, atau kandidat hasil sebulan,” paparnya.
Keresahan akan pelaksanaan pemilu juga disampaikan oleh Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, M.PP. Ia menyoroti adanya politik gaspol yang dilakukan elit politik hingga mempengaruhi netralitas pemilu. Terdapat batasan antara demokrasi dan non demokrasi yang disebut dengan mutual tolerance dan institutional forbearance. Toleransi mutual terjadi ketika setiap anggota pemilu saling menghormati dan bersaing secara baik. “Ini situasi di mana saya khawatirkan semakin tidak terjadi dengan kondisi politik sekarang. Narasi-narasi yang mengarah ke mutual tolerance ini tidak ada. Kemudian tidak ada kontrol dari para elit. Saya khawatir politik gaspol ini akan berdampak buruk bagi demokrasi kita,” ucap Mada.
Melihat netralitas dari elit yang dinilai merosot dalam pemilu kali ini, masyarakat sebagai pemegang hak suara memberikan reaksinya tersendiri. Perbedaan signifikan dibanding pemilu sebelumnya adalah keterlibatan media sosial yang berperan besar membentuk opini publik. Ario Wicaksono, M.Si., Ph.D., Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik mengakui kesadaran masyarakat dalam membentuk diskusi-diskusi di media sosial. Terlebih dengan adanya kesadaran ketiga pasangan calon untuk menggunakan platform media sosial sebagai salah satu metode kampanye.
Pemilu sebagai pondasi terakhir dari demokrasi bangsa perlu dikawal bersama. Kepentingan politik dan kelompok tertentu tidak boleh berada di atas kepentingan masyarakat. Pemilu pun tidak berarti memilih satu dua orang sebagai pemimpin, namun juga proses pemilihan perlu diperhatikan. Harapannya, isu-isu yang terjadi di dunia politik ini bisa menjadi evaluasi bersama, sehingga masyarakat dapat memberikan pilihan terbaiknya pada 14 Februari 2024 mendatang. (/tsy)