Yogyakarta, 13 Februari 2024—Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, Election Corner bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menggelar diskusi bersama media pada Selasa (13/1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Diskusi bertajuk “Mewaspadai Jurus-Jurus Baru Money Politics” ini digelar untuk menghimbau masyarakat agar lebih waspada dalam memberikan hak pilihnya. Yakni, seturut dengan dukungan terhadap SDGs 16 yakni Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.
“Meskipun politik uang ini bukan hal baru, tapi saat ini modusnya berbeda-beda. Kalau dulu biasanya datang dalam bentuk uang tunai, sekarang lebih bervariasi. Misalnya saja, berupa umroh, janji, atau ada juga yang uang tunai tapi dijanjikan setelah terpilih. Inilah yang kami dari Bawaslu sulit sekali mendeteksi,” papar Pimpinan Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta, Umi Illiyina. Modus politik uang yang paling sulit dideteksi adalah dalam bentuk non tunai, seperti pemberian sembako. Umi menuturkan, selain karena modus money politics yang semakin beragam, kesulitan Bawaslu juga terletak pada regulasi dan proses pelaporan yang panjang.
Meskipun begitu, upaya pemantauan dan pengawasan tetap gencar dilakukan. Yogyakarta tercatat sebagai salah satu dari 10 provinsi teratas yang rawan akan politik uang. Usaha preventif dan represif pun dilakukan. Umi menyebutkan, Bawaslu telah melakukan sejumlah sosialisasi dan himbauan pada partai politik. “Untungnya di tahun ini, mereka mau bekerja sama. Kami komunikasikan, dan himbau agar tidak melakukan politik uang. Masa-masa kritis mulai hari ini, hingga jam 9 malam, dan pagi hari besok akan rawan ada serangan politik, serangan fajar. Jadi kami harap karena bawaslu jg terbatas sumber dayanya, semoga masyarakat jg bisa berkomitmen untuk mengawal pemilu kita,” tutur Umi.
Modus politik uang juga berkembang berdasarkan tujuannya. Jika biasanya pemberi menginginkan penerima untuk memberikan suara pada kandidat yang dicalonkan, kali ini money politics juga bertujuan agar masyarakat tidak memilih calon tertentu. Hal ini telah diatur dalam undang-undang secara jelas. Bahkan bagi peserta pemilu, baik dari kelompok partai, kandidat, maupun masyarakat yang secara terang-terangan melakukan politik uang di hari pelaksanaan pemilu, hukuman atau sanksi akan diberikan secara individu. Aturan ini menyebabkan masyarakat berpotensi terkena sanksi individual terlepas dari sebab dan tujuannya.
Selain Bawaslu, turut hadir pengamat politik sekaligus Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan (DPP), Fisipol UGM, Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, M.PP. “Beberapa pola lama, ini sebenarnya politik uang bisa kita dapatkan pola besarnya. Seharusnya kita semua bisa aware, bisa jadi dari undang-undangnya, penyelenggara, atau peserta pemilunya. Potensi politik uang dalam bentuk fresh money menjelang hari pemilihan ini potensinya akan semakin besar. Bentuk politik uang itu yang disukai masyarakat, dan itulah kenapa menjelang hari pelaksanaan aturannya menyasar semua orang,” ucap Mada.
Menurut Mada, keberadaan sistem politik uang yang terstruktur dan terus ada di setiap pemilu membuat masyarakat memiliki preferensi sebagai penerima. Besaran nominal uang atau barang yang ditujukan untuk pembelian suara tidak lagi penting, melainkan siapa yang memberikan paling terakhir. Mada juga mengkritisi bagaimana bantuan sosial dari pemerintah bisa jadi salah satu bagian dari politik uang yang terselubung.
“Masyarakat kita ini masih memandang siapa yang memberi. Jadi ketika diberi, ada rasa untuk membalas budi. Secara legal bansos memang ada dalam program pemerintah, namun anggarannya meningkat drastis terutama menjelang pemilu ini juga perlu diwaspadai. Garda terdepan pemilu kita adalah tahapan pemungutan besok. Semua peserta pemilu pasti akan mengatakan biar rakyat menentukan, tapi kalau tidak mengawal itu bisa jadi hanya bagian dari proses manipulasi,” ujar Mada (/tsy)