Yogyakarta, 13 Mei 2024—Berlalunya Pemilu 2024 tidak serta merta membuat kontestasi politik di Indonesia berakhir. Banyaknya fenomena sepanjang pemilu menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pengamat politik. Departemen Politik dan Pemerintahan mengundang Arief Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2021 dan Bambang Eka Cahya Widodo, selaku Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2008-2012 dalam Kuliah Umum pada Senin (6/5).
Bertema “Menegakkan Benang Basah: Kekalutan Penyelenggara Pemilu Mengawal Asas Luberjurdil”, Arief menjelaskan bagaimana seharusnya penyelenggara menerapkan transparansi untuk pemilu berintegritas. “Tahun 2019 itu kami bisa menampilkan data hasil pemilu di 98,9% TPS. Bahkan untuk pilpresnya itu 99,8%. Sedangkan kita sekarang ini bahkan tidak bisa lihat SIREKAP,” papar Arief. Menurutnya, pemilu merupakan ajang untuk giving the voice to the voiceless atau memberikan hak suara kepada setiap individu, bahkan yang mungkin kurang berkesempatan untuk bersuara.
Dijelaskan oleh Arief, setidaknya terdapat tiga prinsip pemilu berintegritas. Pertama, penerapan etika perilaku dari peserta pemilu, penyelenggara, bahkan masyarakat. Kedua, adil dan tidak berpihak. Lalu ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Ketiga hal ini menurut Arief belum muncul secara maksimal dalam penyelenggaraan pemilu. Penggunaan money politics masih menjadi hal yang awam dan dianggap normal terjadi, meskipun itu adalah salah satu contoh pelanggaran etika dan aturan pemilu. Baik peserta, penyelenggara, dan pemilih sama-sama memiliki peran yang besar dalam melangsungkan pemilu berintegritas.
“Tantangan integritas itu peserta, penyelenggara, pemilih, pemerintah, sampai peradilan pemilunya harus berintegritas. Integritas itu tidak cukup hanya mengatakan iya dan tidak kepada yang benar dan salah, tapi juga harus diterapkan dalam tindakannya,” terang Arief. Termasuk di antaranya adalah mengimplementasikan regulasi yang sudah ditetapkan. Arief memberikan contoh bagaimana partai-partai tidak menerapkan aspek keterwakilan perempuan dalam pencalonan pemilu. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 mengatur tentang kewajiban partai politik untuk menyediakan 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Bambang Eka Cahya Widodo juga menjelaskan bagaimana pemilu saat ini menghadapi masalah serius, yakni supremasi hukum. Sepanjang pelaksanaan Pemilu 2024 lalu, terdapat berbagai perubahan peraturan yang tidak terkendali. Bahkan dilakukan dalam beberapa menjelang penutupan pendaftaran calon pemilu. Disampaikan oleh Bambang, negara-negara dengan asas demokrasi sepakat bahwa idealnya setahun sebelum pelaksanaan pemilu itu tidak ada perubahan peraturan. Ketetapan ini dilakukan agar lahan kompetisi dalam pemilu berjalan seimbang.
“Jadi kita percuma bilang kompetisi kalau peraturan itu berubah-ubah.Tapi di kita tiga hari sebelum pendaftaran, peraturan diubah. Ajaib lagi, KPU-nya tidak mengubah peraturan, tapi menerima pendaftaran,” tambah Bambang. Menurutnya, pencalonan tersebut seharusnya dianggap tidak sah jika tidak ada peraturan yang berubah tiba-tiba. Kejadian tersebut cukup mengindikasikan bahwa pemilu perlu menegaskan kembali supremasi hukum yang digunakan.
Mewujudkan pemilu berintegritas memerlukan komitmen dari berbagai elemen yang terlibat, tak terkecuali masyarakat. Untuk itu, pemahaman akan kedaulatan dan hak-hak pemilih dalam berdemokrasi di pemilu perlu disampaikan secara masif, agar masyarakat mampu menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. Kuliah umum DPP Fisipol UGM ini menjadi salah satu bentuk kontribusi Fisipol UGM dalam mewujudkan pemilu berintegritas, serta kelembagaan yang kuat sebagaimana tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-16. (/tsy)