Yogyakarta, 15 Juni 2024─Revisi Undang-Undang Penyiaran 2024 menuai kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan pers dan kreativitas seniman. Draft RUU Penyiaran 2024 sendiri merupakan revisi dari Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Merespon isu komunikasi kaitannya dengan jurnalisme, Magister Komunikasi UGM selenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA #14) bertajuk “Ancaman RUU Penyiaran Terhadap Penyiaran Lokal dan Content Creator” pada Jumat (14/06).
Perkembangan teknologi membawa perubahan pada media baru dan membuka paradigma teknologi secara signifikan, dengan logika terbarunya menuntut regulasi yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman. Sayangnya, regulasi yang tersedia belum sepenuhnya dapat mengakomodasi perubahan yang terjadi.
“RUU saat ini masih campur-campur. Padahal regulasi penyiaran harusnya bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia tak hanya dari ekonomi, tapi juga politik, dan mendorong kebudayaan maupun edukasi berkembang,” tutur Rahayu, Dosen Ilmu Komunikasi UGM & PR2Media.
Media penyiaran di Indonesia bukan hanya institusi bisnis, namun juga institusi sosial sebagai pilar demokrasi. Menurut Rahayu, media penyiaran memiliki fungsi komunikasi bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan hiburan, menyampaikan pendapat, mempresentasikan identitas dan menjadi medium pengawasan sosial seperti pemerintah. Namun faktanya, fungsi tersebut masih dipertanyakan realisasinya di Indonesia.
“Lebih baik jika membuat regulasi secara eksplisit mengatur regulasi struktur media. Karena mungkin yang paling dibutuhkan saat ini adalah strukturasi media yang lebih mengarah ke arah yang lebih baik,” tukas Rahayu.
Hazwan Iskandar J, selaku Ketua KPID Daerah Istimewa Yogyakarta menanggapi kritik terhadap RUU Penyiaran sebagai proses politik yang dalam setiap pengambilan dan penyusunan Undang-undang memiliki banyak kepentingan di dalamnya. Namun, Hazwan menegaskan bahwa revisi tersebut prinsipnya untuk kemaslahan anak bangsa dalam mengunyah informasi yang bergizi dan sehat.
Selain itu, kritik RUU Penyiaran juga menyorot pada ekspansi KPI dalam regulasi penyiaran digital khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC). Wahyu Sudarmawan selaku Direktur Utama RBTV menyebut bahwa keberadaan media digital baru seperti media sosial mengharuskan pekerja kreatif lebih adaptif.
“Saat ini penonton telah menjadi penonton aktif, sehingga kita perlu adaptif dengan mempelajari budaya penonton. Salah satunya adalah melakukan mapping dan analisis dari budaya penonton tersebut,” jelasnya. Wahyu menambahkan bahwa dalam pengawasan media sosial juga bisa dibantu dengan adanya pelembangan independen untuk mengawasi konten-konten yang ada di media sosial.
Sementara itu, sejalan dengan pendapat Rahayu terkait RUU Penyiaran yang masih rancu, Umar Wicaksono sebagai Head of Creative PARES.id menyebutkan kekhawatirannya terkait pasal-pasal karet yang ada dalam RUU Penyiaran. Menurutnya, ketimbang mengurusi konten-konten milik content creator, pemerintah dapat melakukan intervensi pada guideline yang disediakan oleh tiap media sosial dan disesuaikan dengan community guideline di Indonesia. Dengan harapan, kebijakan yang sesuai dapat berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), secara khusus pada poin nomor 16 yakni perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. (/dt)