Mewujudkan inklusi di berbagai lini tata kelola kebijakan dan layanan publik adalah salah satu target capaian pembangunan pemerintah, namun ada banyak tantangan untuk mewujudkan hal tersebut. Riset Tim Kajian Inklusi Sosial dan Kewargaan Demokratik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada tahun 2021-2024 menemukan bahwa banyak kebijakan yang dibuat di tingkat pusat maupun daerah justru berkontribusi dalam melanggengkan eksklusi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marginal. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok: (1) kebijakan yang isinya secara terang-terangan mengeksklusi kelompok tertentu; (2) kebijakan yang isinya mengandung celah yang berpotensi mengeksklusi kelompok tertentu; (3) kebijakan yang secara konten bersifat inklusif, namun berpotensi menimbulkan eksklusi dalam implementasinya; serta (4) pengabaian secara konsisten dari pemerintah terhadap kelompok marginal.
Ada tiga penyebab lahirnya kebijakan-kebijakan eksklusif dan diskriminatif. Pertama, ketimpangan peran antarpemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat dan daerah, anggota dewan dan politisi, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan kelompok-kelompok marginal, dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, terhambatnya implementasi kebijakan karena belum lengkapnya peraturan turunan dan keterbatasan data tentang kelompok marginal. Ketiga, pola pikir para pemangku kepentingan belum sepenuhnya inklusif.
Pemahaman tentang pentingnya kesetaraan gender, hak disabilitas, dan nilai-nilai inklusi sosial masih beragam, bahkan belum tumbuh, di kalangan aparat negara, partai politik dan lembaga legislatif, maupun masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap proses penyusunan maupun implementasi kebijakan. Ketiga persoalan tersebut terjadi baik di level nasional maupun daerah. Guna mengatasi persoalan-persoalan di atas, kertas kebijakan ini menawarkan tiga rekomendasi. Pertama, penguatan proses pembuatan kebijakan melalui pelibatan bermakna kelompok-kelompok marginal, baik di level nasional maupun lokal. Kedua, peningkatan implementasi kebijakan melalui pembuatan kebijakan turunan, perbaikan kualitas data terpilah yang berbasis kebutuhan riil kelompok marginal, dan optimalisasi pembagian kewenangan dalam organisasi pelaksana. Dan ketiga, pengarusutamaan nilai-nilai GEDSI sebagai perspektif yang membingkai pola pikir inklusif setiap pemangku kepentingan.
Dokumen Policy Brief “Mewujudkan Kebijakan Inklusif untuk Semua” dapat diakses di bawah ini.