Yogyakarta, 13 November 2024─Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM ikut semarakkan rangkaian “Research Day 2024” dengan memaparkan hasil riset kolaborasinya dengan APNIC Foundation melalui The Information Society Innovation Funds (ISIF ASIA) pada Kamis (13/11). Riset mengangkat isu krisis iklim dengan tajuk “Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Indonesia” yang dipresentasikan oleh Muhammad Perdana Sasmita-Jati Karim. Salah satu temuan menarik dari riset ini menunjukkan bahwa 63,5% responden menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama terkait topik krisis iklim. Instagram menjadi platform terpopuler yang digunakan dengan persentase 20,6% mengalahkan Twitter atau X yang mendapat 19,2%.
Survei dilakukan sejak Agustus hingga September tahun 2023 dan menghasilkan 2.401 responden. Variabel survei yang digunakan yakni 1) pemahaman dan kesadaran responden terkait krisis iklim, 2) pola konsumsi informasi terkait krisis iklim, serta 3) kemampuan literasi digital dalam mengidentifikasi dan merespon misinformasi.
“Ketika mendapati konten misinformasi, sebanyak 62,3% responden memilih untuk memverifikasi kebenaran terlebih dahulu dan tidak serta-merta menerima informasi secara mentah,” ungkap Perdana dalam penjelasannya mengenai kemampuan literasi digital responden. Sementara itu, hasil temuan menunjukkan hanya 6,7% saja yang melakukan pelaporan misinformasi.
“Ini menarik karena dalam mengatasi misinformasi tahap reporting sangat penting, terkadang sistem tidak bisa menyortir konten misinformasi jika tidak ada yang melaporkan,” lanjut Perdana.
Sementara itu, dalam analisis konten relevansi tema ditemukan poin unik lainnya bahwa krisis iklim seringkali dikaitkan dengan isu politik, agama, hingga memunculkan climate-alarmism. Narasi krisis iklim sering dikaitkan untuk menyerang oposisi tertentu dalam hal politik. Sementara dalam isu keagamaan, krisis iklim cenderung dikaitkan dengan narasi bahwa bencana datang karena hukuman dari Tuhan. Adapun climate-alarmism cenderung menggunakan narasi hiperbolis untuk menanggapi isu krisis iklim. Hal ini dapat menjadi boomerang karena dapat meningkatkan resistensi para penolak krisis iklim menjadi climate-alarmism sebagai sebuah kekhawatiran yang mengada-ada.
“Pencegahan misinformasi dapat dilakukan dengan melakukan cek fakta, media monitoring, penyediaan informasi krisis iklim yang memadai, serta melakukan penelitian,” tukas Perdana dalam rekomendasinya terkait penanganan krisis iklim. (/dt)