
Yogyakarta, 30 April 2025—Kekhawatiran akan kembalinya peran militer dan kepolisian dalam ruang sipil kembali mencuat ke permukaan. Bertempat di Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM, Departemen Sosiologi UGM bersama Departemen Sosiologi UI dan Social Research Center (SOREC) UGM menggelar diskusi publik bertajuk “Kembalinya Sejarah Berseragam: Menggugat Negara Kemiliteran dan Kepolisian Republik Indonesia”. Diskusi ini menghadirkan Dr. Arie Sujito (Departemen Sosiologi UGM), Dr. Joash Elisha Tapiheru (Departemen Politik dan Pemerintahan UGM), Dra. Jaleswari P., M.Hum. (LAB 45), Prof. Dr. Iwan Gardono S. (Departemen Sosiologi Universitas Indonesia), Najib Azca., Ph.D. (Departemen Sosiologi UGM) serta Nurul Aini, M.Phil. sebagai moderator.
Topik mengenai militer dan kepolisian menjadi semakin relevan dalam beberapa minggu terakhir. Bukan hanya karena pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang memantik kontroversi, namun juga karena munculnya usulan revisi terhadap Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang menjadi bagian dari sejumlah regulasi problematik.
“Reformasi sektor pertahanan dan keamanan secara parsial dalam satu dekade pertama pascareformasi tidak berlanjut, bahkan tidak lengkap. Bahkan saya sebut mengalami kemandekan,” tegas Dr. Arie Sujito dalam pemaparannya sebagai keynotes speaker.
Memori kolektif masyarakat Indonesia mengenai praktik Dwi Fungsi ABRI masih membekas. Pada masa Orde Baru, militer dan kepolisian menyatu di bawah komando ABRI dan berperan aktif dalam pemerintahan sipil. Hal ini menjadikan aparat berseragam sebagai alat kekuasaan yang melanggengkan penyalahgunaan wewenang melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Kini, kembalinya nuansa serupa mulai terasa. Aturan terbaru memperbolehkan TNI diterjunkan untuk menangani konflik komunal. Langkah ini dinilai mengkhawatirkan mengingat maraknya laporan kekerasan oleh oknum TNI dalam lima tahun terakhir, mulai dari intimidasi hingga penganiayaan.
Dra. Jaleswari P., M.Hum. dari LAB 45 turut memperkaya dikusi dengan menyajikan data dan konteks terkini dari isu tersebut. Menurutnya, demokrasi Indonesia selama satu dekade terakhir menunjukkan gejala kemunduran. Namun, hal ini tidak tercermin dalam persepsi publik. Survei menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat dalam bidang hukum, politik, dan keamanan justru meningkat. Ironisnya, situasi ini kerap dimanfaatkan untuk mempercepat pengesahan regulasi kontroversial tanpa partisipasi publik yang akuntabel.
“Demikian pula kalau kita melihat tren kepuasan publik terhadap pemerintah sepertinya tinggi, tetapi demokrasi kita turun. Jadi memang kita memang harus mencermati apa dibalik data-data itu,” jelas Jaleswari dalam diskusi.
Diskusi ini menjadi catatan penting bagi masyarakat sipil agar tidak lengah. Masyarakat harus terus mengintensifkan aksi kolektif karena militerisasi sudah terlalu kuat. Menurut Prof. Dr. Iwan Gardono S demiliterisasi butuh partisipasi aktif dari masyarakat sipil. Dengan menjaga kemitraan masyarakat sipil maka kesadaran publik akan pentingnya demokrasi dapat tetap terjaga.
Dengan adanya diskusi publik ini, Fisipol UGM turut mengupayakan ketercapaian SDGs 16 terkait perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.