Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Gelar Diskusi dan Bedah Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia

Yogyakarta, 30 April 2025—Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM, menggelar acara bedah buku “Social Media and Politics in Southeast Asia”. Dalam acara ini turut mengundang pembicara sekaligus penulis buku tersebut, Prof. Merlyna Lim (Canada Research Chairs Bidang Media Digital & Jaringan Masyarakat Global); Pembahas, Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.I.P., M.Si. (Dosen Ilmu Komunikasi UGM dan Profesor Bidang Sistem Komunikasi); dan dimoderatori oleh Mashita Pitaloka Fandia Purwaningtyas S.I.P., M.A. (Dosen Ilmu Komunikasi UGM).  Acara ini digelar secara luring di Seminar Timur dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube Departemen Ilmu Komunikasi UGM. 

Buku “Social Media and Politics in Southeast Asia” membedah kembali demokrasi yang terjadi dalam media sosial di kawasan Asia Tenggara. “Buku ini berusaha mempersoalkan pengertian-pengertian dan  kerangka-kerangka politik yang besar yang menurut saya  agak terlalu oversimplified. Jadi kebanyakan orang menulis disinformasi, digital propaganda, dll mereka bilang, ‘oh itu gara-gara media sosial,’. Sementara, ada banyak pemikir yang sama mereka sangat utopian ketika lima belas tahun yang lalu ya,” ungkap Merlyna.

Secara garis besar, buku ini menawarkan tiga argumen besar yang disorot. Pertama, terdapat kesalahan dalam melihat konsep network society yang menganggap bahwa jaringan bersifat egalitarian, akan tetapi justru makin banyak pihak yang memiliki kekuasaan yang menjadi pelaku besar. Kedua, teknologi digital tidak sepenuhnya demokratis yang seiring waktu kontrol dan kekuasaan mulai terpusat. Ketiga, desain memiliki peran krusial bahwa media sosial justru dirancang untuk “tap capitalism”–yang penting bukan pengguna, melainkan adalah advertisers atau pengiklan yang berbasis algoritma. Selain itu, konteks negara Asia Tenggara menjadi salah satu kajian yang menarik karena pengguna media digital di Asia Tenggara tergolong tertinggi dibandingkan kawasan lainnya. Meskipun demikian, pengguna media digital tersebut tidak sebanding dengan partisipasi politik sebagai warga yang mengklaim haknya, akan tetapi bergeser kepada konsumen yang berpartisipasi dalam ranah marketing sehingga diskursus yang terbentuk berbasis afeksi, alih-alih diskursus berbasis rasional. 

Buku ini menantang perspektif populer terkait peranan media yang dianggap mampu memoderasi proses demokratisasi. “Saya kira Prof. Lim dari awal ingin mengatakan bahwa mempertanyakan ke lagi kita nih. Sebenernya media sosial tidak inherently demokratis. Siapa yang menyematkan bahwa socmed itu demokratis begitu?. Jadi apakah yang terjadi itu euphoria, jadi kita ini wah seolah-olah ya kayak suasanya kayak paradoks nggak sih gitu?. Jadi dari awal sebagai tools dia memberikan platform untuk keterbukaan, tapi pada sisi yang sama saya kira detik ini feeling nano-nano ini terasa,” ujar Hermin.