
Yogyakarta, 10 September 2025—Perkembangan Artificial Intelligence (AI) memaksa dunia agar ikut bertransformasi. Sejak masifnya kemajuan AI, disrupsi muncul di berbagai bidang termasuk pendidikan. The Global Humanities Alliance (GHA) menggelar seminar daring tentang penggunaan AI untuk mendukung proses pembelajaran pada Rabu (3/9). Diskusi panel bertajuk “Digital Transformations: AI and Teaching” tersebut turut menghadirkan pakar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Hafiz Noer, peneliti Center for Digital Society (CfDS), Fisipol UGM menyampaikan setidaknya terdapat tiga poin utama yang menjadi pokok diskusi. Pertama, harus ada perubahan dalam kurikulum seputar AI. Pada dasarnya, AI adalah alat yang membantu manusia. Maka AI harus diposisikan sebagai alat yang implementasinya perlu disesuaikan. Masalahnya adalah penggunaan AI memunculkan banyak masalah yang bersinggungan dengan kecenderungan tergantikannya peran manusia di banyak bidang. AI memang mempermudah dan mempercepat proses berpikir, namun seringkali ketergantungan terhadap AI justru menghasilkan karya yang sepenuhnya hasil dari sistem generator.
Selain masalah hak cipta, karya hasil AI kehilangan keunikan dan inovasi dari proses berpikir manusia. Belum banyak yang memahami potensi AI yang jauh lebih luas dibanding sekedar melakukan pencarian dan generator objek. Maka pemahaman tentang AI perlu diperdalam dan disesuaikan dengan bidang masing-masing, sehingga AI dapat berfungsi secara implementif. “Kurikulum perlu diubah. Bukan mengajarkan AI, tetapi integrasi logika cara kerja AI sesuai program studi masing-masing,” ujarnya. Dengan begitu, penggunaan AI dapat lebih maksimal untuk membantu proses kerja manusia di bidang keahlian tertentu.
Hafiz melanjutkan, difusi AI di dalam sistem pendidikan masih berkutat pada proses pengajaran pada peserta didik. Perlu ditekankan bahwa seharusnya sebelum sampai ke peserta didik, pengajar membutuhkan pembelajaran AI yang mumpuni. Contohnya dalam sistem pengajaran perguruan tinggi banyak ditemukan kasus penggunaan AI dalam pengerjaan tugas. Hal tersebut tentunya tidak dapat dihindari, namun untuk menciptakan sistem pembelajaran berbasis AI yang fungsional, dosen harus memiliki pemahaman terhadap sistem AI.
Selanjutnya, dalam pertemuan tersebut Hafiz juga membahas aspek etika yang berlaku. Meskipun diskursus etika dan AI masih memunculkan banyak pertanyaan, namun menurut Hafiz etika tidak bersifat punitif. Artinya pengajaran etika tidak hanya melalui sistem pemberian hukuman atau sanksi. Perlu ada pengenalan mendalam tentang urgensi etika dan bagaimana implementasinya. Dengan pemahaman AI dan refleksi etika, peserta didik diharapkan mampu menggunakan AI dengan lebih bijak untuk membantu proses pembelajaran. “Tidak hanya aturan. Hal yang perlu diatur juga adalah manusianya atau mahasiswanya. Etika tidak bersifat punitif, melainkan diajarkan dilatih ke mahasiswa,” ucap Hafiz.
Pendapat tersebut didukung juga oleh Gabriela Arriagada, Professor of Applied Ethics dari Pontifical Catholic University of Chile. Batasan-batasan etika dalam menggunakan AI penting untuk terus dibahas dan diperdebatkan. Etika tidak bersifat hitam di atas putih, namun tumbuh dari nilai dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Untuk itu, pembentukan pengetahuan sangat diperlukan sebagai landasan menumbuhkan etika. Ia juga membahas bahwa isu ini berhubungan erat dengan berbagai dimensi isu, seperti feminisme, kelompok marginal, hingga keberlanjutan.
Pada pertemuan ini, hadir juga Jennie Blake, University of Manchester, Ke Hu dari University of Melbourne, dan sejumlah pakar serta mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Diskusi diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan AI di masyarakat dan membantu para pemangku kebijakan untuk merespon kemajuan teknologi. Lebih lanjut, keterlibatan Fisipol UGM dalam diskusi The Global Humanities Alliance memperkuat kontribusi fakultas terhadap isu dan mempererat jalinan kerja sama akademik internasional. (/tsy)