Di Balik Euforia Thrifting: Mengurai Gaya Hidup, Krisis Lingkungan, hingga Ilusi Keberlanjutan

Yogyakarta, 27 November 2025─Tren thrifting beberapa tahun terakhir berkembang menjadi gaya hidup populer di kalangan anak muda Indonesia. Di balik citra estetik, harga terjangkau, dan narasi “ramah lingkungan”, praktik membeli pakaian bekas ternyata menyimpan persoalan yang jauh lebih rumit. Merespons hal itu, Departemen Ilmu Komunikasi UGM menyelenggarakan Diskoma #26 secara daring melalui Zoom dengan tajuk “Di Balik Euforia Thrifting: Gaya Hidup, Krisis Lingkungan, Hingga Ilusi Keberlanjutan”. Acara ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda yaitu Farhana Nariswari (Puteri Indonesia 2023), Pujia Nuryamin Akbar (Komunitas Sahabat Lingkungan), serta Abdul Rohim (mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM) sebagai moderator.

Pujia Nuryamin Akbar memulai diskusi dengan menyoroti dampak nyata industri fashion terhadap lingkungan. “Lemari kita sudah seperti lahan pembuangan mikroplastik, karena mayoritas bahan-bahan baju kita menganduk mikroplastik seperti polyiester yang tidak hanya berbaha ketika dibuang saja tetapi juga ketika dicuci ada zat-zat mikroplastik yang meluruh,” jelas Pujia dalam pembukaannya. Mengutip dari data Badan Perlindungan Lingkungan, ada sebanyak 85% dari semua tekstil yang diproduksi akhirnya dibuang ke TPA setiap tahunnya dan rata-rata per orang menyumbang sekitar 37 kilogram limbah pakaian per tahun.

Data tersebut  membutuhkan solusi yang nyata, bukan sekedar thrifting. Hal ini karena thrifting tidak otomatis menghentikan perilaku konsumtif manusia. “Kita merasa sudah eco-friendly, padahal perilaku konsumsinya tidak berubah. Kita melakukan thrift tapi sekali beli bisa 10 pakaian, jadi sama saja. Beli banyak, pakai sebentar,” ungkapnya. Fenomena ini disebutnya sebagai bentuk greenwashing personal karena merasa ramah lingkungan tanpa perubahan perilaku nyata. Oleh karena itu, ia kembali mengingatkan bahwa re-use memang lebih baik daripada membeli baru tetapi thrifting bukan solusi tunggal. Tanpa evaluasi menyeluruh dan perubahan gaya hidup, thrifting bisa berubah menjadi ilusi keberlanjutan yang justru memperparah masalah.

Farhana Nariswari turut mendukung pernyataan tersebut dengan menyoroti tren fesyen yang cepat, baik fast fashion maupun fast thrifting, yang banyak menuai kritik akibat kondisi kerja yang tidak manusiawi dalam pabrik produksi, risiko kesehatan bagi pekerja, serta pencemaran air dan limbah industri tekstil lainnya. “Hal ini yang menjadikan sekaan-akan solusinya adalah thrifting. Padahal thrifting sendiri bukan jadi solusi utama karena memunculkan isu ketimangan yang menyakiti industri tekstil UMKM kita dilihat dari banyaknya barang bekas dari luar negeri,” jelas Farhana dalam pemaparannya.

Diskoma#26 berhasil membuka ruang refleksi kritis mengenai praktik thrifting yang selama ini dianggap “aman” dan “berkelanjutan”. Para narasumber sepakat bahwa isu ini tidak hanya terkait gaya hidup, tetapi juga mengandung krisis lingkungan, ketimpangan global, dan tanggung jawab konsumsi. Dengan demikian, diskusi ini mengajak peserta untuk lebih bijak dalam mengelola kebutuhan fesyen, mendukung praktik daur ulang, serta menekan budaya konsumsi berlebihan. (/noor)