Petakan Tantangan dan Strategi Penguatan Kecerdasan Artifial di Indonesia, CFDS FISIPOL UGM Soroti Pembelajaran dari Negara Global South

Yogyakarta, 17 Desember 2025—CFDS FISIPOL UGM kembali menggelar Difussion seri ke-130 yang bertajuk “Belajar dari Global Bertindak Lokal: Strategi Penguatan Talenta Kecerdasan Artificial Indonesia”. Dalam seri Diffusion ini, mengundang dua narasumber, di antaranya: Fransisca Octaviani dan Hose Immanuel. 

Perkembangan Kecerdasan Artifial (KA) dalam ranah global hingga nasional semakin menujukkan perkembangan masif ke semua lini kehidupan. Data ILO tahun 2025 misalnya, menunjukkan bahwa satu dari empat pekerjaan di seluruh dunia sudah terinternalisasi oleh penggunaan KA generatif. Kemudian Indonesia menempati negara ketiga di dunia atas penggunaan KA terbesar. 

Sebagai pengguna KA terbesar di dunia, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, baik itu dari segi infrastruktur fisik, sumber daya manusia, hingga kerangka regulasi. Dari segi infrastruktur, ketimpangan akses internet masih menjadi latar belakang permasalahan, pasalnya sebagian besar pusat data di Indonesia berada di kota, khususnya Jakarta. Hal itu juga memberikan kontribusi terhadap ketidaksiapan talenta KA, mengingat literasi digital di Indonesia masih rendah, bahkan bila dibandingkan dengan negara ASEAN. Kemudian, dari segi kerangka regulasi lama, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 masih berfokus dalam pengaturan terkait transaksi digital melalui e-commerce. Sedangkan dalam regulasi yang terbaru, seperti SE Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 masih belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

“Salah satu kelemahan yang ditunjukkan dari beberapa regulasi existing adalah tidak mengikat secara hukum, non-legal binding, jadi belum ada kekuatan mendorong implementasinya,” ungkap Hose. 

Maka dari itu, perlu untuk melihat brenchmarking dari negara-negara lain untuk mengambil praktik terbaik, terutama dari Global South. Misalnya di negara Brazil dan India, masing-masing di antaranya berfokus dalam pendekatan secara talenta dan teknis. Kemudian, di negara China, pendekatan KA sudah bersifat holistik, mencakup dari segi talenta maupun teknis. 

CFDS telah memberikan rekomendasi strategi KA di Indonesia dengan mengambil jalan tengah dengan menyusun kebijakan jangka pendek-menengah dan jangka panjang. Dalam kebijakan jangka pendek-menengah, dapat berfokus pada pengembangan talenta, misalnya berkaca dari India melalui Tinkering Labs. Kemudian, dalam jangka panjang, Indonesia dapat mulai mempersiapkan peta jalan KA dengan kerangka regulasi yang kuat dengan mengutamakan tiga prinsip, yakni Policy, People, dan Platforms (3Ps). 

Melampaui segala inovasi yang hadir pasca KA, pengarusutamaan “Human-Centered AI” perlu untuk menjadi pijakan. KA harus dapat dimanfaatkan tanpa menghilangkan aspek manusia dan kemanusiaan. Sehingga manusia atau people di sini ditempatkan sebagai pusat sistem teknologi yang didasarkan atas etika dan tanggung jawab sosial.

“Yang perlu ditekankan adalah gunakan KA hanya sebagai alat pendukung dan bukan pengambilan keputusan,” tegas Fransisca.