Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Hari Jumat kemarin mengadakan diskusi public dalam bedah buku yang bertajuk Exlpaining Collective Violence in Contemporary Indonesia: From Conflict to Cooperation yang diselenggaran pada Hari Jumat pada tanggal 6 Juni 2014. Buku yang sarat akan penjelasan konflik ini ditulis oleh seorang berkebangsaan Indonesia yang saat ini merupakan dosen senior di University of Western Sydney pada Jurusan Development Studies. Adalah Dr. Mohammad Zulfan Tadjuddin berhasil menuliskan paparannya secara apik pada buku yang memiliki cover diplomasi. Adapun penanggap dari acara bedah buku ini yakni Dr. Samsu Rizal Panggabean, M.Sc yakni seorang peneliti di Pusat Studi Perdamaian dan R.B Abdul Gaffar Karim, M.A seorang staff pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM. Acara dikemas secara apik oleh moderator yakni Titik Firawati, M.A yang juga staff pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, UGM.
Acara yang diadakan di Seminar Timur ini dibuka untuk umum dan berlangsung selama empat jam mulai dari Pk 13.00 WIB hingga Pk 16.00 WIB. Penulis memaparkan bagaimana kajian riset ini dibentuk dan proses panjang perjalanan beliau menulis buku selama 10 tahun ini. “Buku ini merupakan kumpulan penelitian saya yang mengantarkan saya memperoleh gelar master sekaligus gelar doktoral saya”, ungkap Dr. Mohammad Zulfan Tadjuddin. Dalam paparannya, penulis yang akrab disapa dengan panggilan Zulfan ini memaparkan bagimana kontestasi konflik terjadi di Indonesia. Konflik marak terjadi dikarenakan tidak adanya pemahaman kuat akan pluralisme. Hal in tentu saja berimplikasi pada pola relasi hubungan antar komunitas baik yang didasari pada karakter etnis, agama, suku maupun ras.
Berbagai perbedaan Indonesia ini tentu saja pluralism merupakan konsekuensi logis dari adanya keragaman. Pada akhir paparannya, penulispun menyampaikan bahwa kontrak sosial mrupakan kunci dari berbagai masalah identitas diberbagai daerah. Misalkan saja di daerah Kalimantan, orang akan paham mengenai kontrak sosial yang dibangun antara komunitas Melayu- Dayak sehingga ketika orang Dayak menjadi Walikota maka orang Melayu-pun akan menjadi wakilnya. Begitu pula sebaliknya jika orang Melayu menjadi gubernur maka orang Dayak yang akan menjadi wakil. Hal ini harus dikelola dan dijaga betul terutama oleh pemerintah pusat. Adapun tujuan dari kontrak sosial bukan membatasi kebebasan warganegaranya dalam hal brekspresimelainkan lebih jauh lagi langkah ini merupakan jalan keluar atas berbagai konlik untuk mentransformasikan konflik tersebut menjadi kerjasama.. (Via/OPRC).