Sebagai pusat perbelanjaan modern, fungsi mal mirip pasar tradisional, yakni menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi. Agar memiliki kesan menarik, mal menciptakan daya tarik tertentu guna menggoda perhatian pengunjunganya. Biasanya, setiap mal rutin menjalankan program kegiatan tertentu yang bersifat promotif, semisal menggelar atraksi melalui beragam event.
Dalam perkembangannya, mal mempunyai kelas berbeda-beda. Ada mal kelas premium untuk kelas atas, dan ada mal kelas menengah. Perbedaannya pada kualitas fasilitas umum, semisal parkir, kenyamanan, kepraktisan maupun keamanannya.
Lebih dari sekadara makna bangunan, saat ini mal telah menjadi identitas untuk meningkatkan status sosial, semisal simbol modernitas masyarakat dan kemajuan pembangunan suatu daerah. Bahkan, mal menciptakan istilah sisial, budaya konsumsi, pemanfaatan waktu luang, dan tempat rekreasi baru, Istilah baru pun bermunculan antara lain, mejeng, anak gaul, anak nongkrong hingga cara berberlanja baru, yakni late night sale , discount serta meningkatnya penggunaan kartu kredit.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, mengatakan mal ikut andil menciptakan komunitas baru seperti Yuppies (Young Urban Proffesional). Begitu pula dalam mempertemukan para konsumen loyak pecinta merek atau brand tertentu, dan menjadi tempat relaksasi-refreshing.
Di Yogyakarta maraknya pembangunan mal telah menjadi penanda sekaligus pertanda perubahan dan kemajuan yang sama sebagaimana dialami kota-kota besar lainnya. Lalu jika penanda kemajuan kota sama dengan yang terjadi di kota lainnya, apakah Yogyakarta masih perlu menyimpan penanda kota toleran, kota budaya dan kota pelajar?
Beberapa warga setempat menanggapinya. David Arseven, warga Piyungan, Bantul, berpendapat meskipun Yogyakarta dijajah pembangunan modern, tetapi warganya tetap berhati toleran, bermental budaya dan mempunyai pikiran terpelajar. Lain halnya dengan Tian Denamlea, Former Konsultan di sebuah perusahaan swasta ini.Ia berpendapat agar yang berwenang bisa menghentikan pembangunan hotel dan mal karena sudha menjamur dan bikin semrawut.
“Yang harus diperhatikan adalah tata kota, terutama ruang hijau yang tidak seimbang keberadaannya. Padahal ruang hijau sangat penting sebgai paru-paru kota,” tegasnya.
Fresndi Nurrochman, seorang pegawai negeri sispil (PNS) mengatakan, bagaimanapun juga Yogyakarta tetap istimewa dengan tidak meninggalkan budaya dan adat istiadat yang ada meskipun pembanunan mal danhotel semakin marak.
Aryon, seorang penikmat sni tradisonal, berharap pembangunan mal mengacu pada pemanfaatan buat masyarakat lokal, serta tak merusak fungsi lingkungan hidup. Selain itu pembangunan jangan sampai menyingkirkan bangunan-bangunan dan sarana cagar budaya.
Hal hampir sama disampaikan Tri Wibawa (55). Menurutnya, Yogyakarta tidak bisa disamakan dengan kota lain. Pembangunan mal tentunya jadi sarana hiburan dan reksreasi, tinggal bagaimana Pemda mengingkatkan dan mengembangkan budaya. Hal senada dikatakan seorang mahasiswa, Slamet Riadi. Ia berpendapat kalau yang namanya maju itu menyejahterakan masyarakatnya.
Menurut dia, maraknya pembangunan mal telah mengubajj perilaku sosial masyarakat. Sebagai contoh, konsep kenyamanan, kepraktisan dan keamanan menjadi prinsip pembangunan mal telah mengubah pola konsumsi. (dilansir dari sumber Tribun Jogja (19/10), halaman 9)