Ditulis oleh Dr Hempri Suyatna
Ketua Prodi S2 PSDK Fisipol UGM
Aneh! Tidak ada kata lain. Meski dulu memperjuangkan mobil nasional karya siswa SMK Solo yang bekerja sama dnegan Kiat Motor Klaten – bahkan melejitkan namanya – kini Jokowi justru menggandeng produsen otomotif Malaysia Proton untuk mewujudkan mobil nasional. Penunjukan ini jelas membuat tanda tanya. Pertama, pemerintah tampaknya tampaknya lupa dengan cita-citanya di dalam membangun kemandirian ekonomi. Ketika visi-misi tersebut benar-benar dipahami seharusnya pemerintah konsisten dan serius membangun industri otomotif dengan menegdepankan kandunagn unsur lokal. Pertanyaannya : benarkah upaya memunculkan mobil Kiat Esemka hanya sebagai pencitraan politik daripada niat tulus untuk membangun kemandirian ekonomi?
Kedua, penunjukan ini tampaknya juga dapat dilihat dari distribusi kekuasaan presiden ketika melihat siapa perusahaan di Indonesia yang melakukan MOU. ketiga, penunjukan Proton juga dipertanyakan. Jikapun menggandeng perusahaan luar negeri mengapa bukan perusahaan-perusahaan industri otomotif yang secara kapasitas dan kualitas teruji seperti Honda, Yamaha, Suzuki dan sebagainya. Proton di Malaysia karena perusahaan ini sudah berada di ambang kebangkrutan. Skeitar tahun 2010 Proton pernah rugi hingga 61 juta ringgit.
Upaya mewujudkan mobil nasional dengan berbasis pada kemandirian lokal memang tidak mudah. Berbagai produk mobil sudah banyak muncul namun tidak berhasil. Sebut saja misalnya Mobil Maleo yang dikerjakan oleh Industri pesawat Terbang Nasional (tahun 1993), mobil Beta 97 MPV (muncul tahun 1995 yang dikembangkan Grup Bakrie), Kalla Motor, Texmaco Macan, Fin Komodo, mobil listrik Marlip yang dikembangkan LIPI. Proyek mobil nasional yang cukup banyak menyita perhatian publik adalah mobil Timor (tahun 1990-an) yang diproduksi oleh PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soharto dan mobil Bimantara milik keluarga Cendana lain yaitu Bambang Trihatmojo. Namun royek mobil nasional tersebut akhirnya gagal.
Dalam perspektif ekonomi politik, kegagalan di dalam mengambangkan mobil nasional di Indonesia dikarenakan adanya kekuatan ekonomi politik tertentu yang memaksa kebijakan negara tunduk padanya. Hasil penelitian yang dilakukan Ian Chalmers dalam pengembangan industri otomotif Indonesia tahun 1950 – 1985 menunjukkan bahwa kebijakan industri otomotif di Indonesia tidak dapat lepas dari kekuatan-kekuatan tarik menarik yaitu antara perusahaan transnasional (TNCs), pengambil kebijakan negara serta borjuasi lokal.
Aliansi negara dan bisnis banyak mewarnai kebijakan-kebijakan industri otomotif di Indonesia pada waktu itu. Hal inilah yang pernah terjadi di Indonesia di awal pemerintahan Orde Baru. Persaingan antara sesama pengusaha pribumi untuk merebut dukungan negara kemudian menyebabkan program penghapusan impor yang pertama tahun 1976 dan pergeseran kebijakan dari pribumisme ke individualisme (Chalmers, 1996 ;311). Belajar dari studi Ian Chalmers tersebut maka perlu ditelusuri lebih jauh, siapa aktor yang terlibat di dalam MOU antara Indonesia dengan Proton sehingga dapat dilihat motif dari kebijakan tersebut dibuat.
Meskipun upaya membangun mobil nasional tersebut cukup berat akan tetapi jika pemerintah serius mendorong ekonomi lokal sebenarnya hal tersebut dapat dilakukan. Beberapa contoh dapat dilihat di Jepang maupun Korea Selatan. Kemajuan industri otomotif di Jepang, didukung dengan produk-produk spareparts yang dihasilkan pengusaha industri kecil. Perkembangan usaha kecil menengah (UKM) Korea Selatan didukung kebijakan pemerintah dalam mendorong chaebol (perusahaan swasta besar) untuk mengambangkan jaringan vendor atau subkontraktor yang kebanyakan terdiri dari UKM. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah Korea Selatan memberlakukan regulasi bahwa berbagai komponen dan subkomponen yang diperlukan oleh perusahaan manufaktur dari chaebol tersebut tidak diperkenankan dibuat sendiri, akan tetapi harus dibeli dari UKM.
Beberapa contoh inilah yang seharusnya menjadi inspirasi bagi Indonesia ketika memang benar-benar serius membangun mobil nasional yang berbasis pada kemandirian bangsa. Namun demikian tampaknya pemerintah tidak pernah serius untuk menggarap hal ini dan sepertinya tidak kuasa untuk melawan kepentingan perusahaan multinasional serta aktor ekonomi politik yang terus mencari rente. Hal ini menyebabkan kebijakan yang muncul adalah kebijakan yang lahir dari persekongkolan elite politik dan pengusaha dan tidak menguntungkan bagi rakyat. (dilansir dari Kedaultan Rakyat, Senin (9/2/2015), halaman 1)