Data statistik angka bunuh diri di wilayah hukum Polda DIY dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini terbilang tinggi. Meski demikian, angka tersebut juga mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Jumlah tertinggi kasus masih dipegang Gunungkidul dibandingkan dengan kabupaten dan kota di wilayah DIY. Pada 2012, kejadian bunuh diri tercatat 66 laporan ke pihak kepolisian. Angka itu menurun pada 2013, tercatat ada 47 kejadian bunuh diri.
Untuk 2014, angka bunuh diri sebanyak 45 kejadian. Sedangkan untuk 2015 dari Januari hingga Februari , baru ada dua kejadian bunuh diri. Data ini masih belum diperbarui, mengingat di wilayah Sleman saja dua bulan terakhir lebih dari enam kasus.
“Dari angka kejadian bunuh diri yang kami dapatkan, kebanyakan kejadiannya ada di Gunungkidul. Dari sampel terbanyak itu, alasan bunuh diri beragam. Namun juga ada yang misterius,” kata Kasubid Penerangan Masyarakat Bagian Humas Polda DIY, Sri Sumarsih.
Alasan umum antara lain sakit menahun, terlilit hutang, depresi, dan permasalahan ekonomi. Modus bunuh diri pun bermacam-macam. ” Ada yang minum obat nyamuk, gantung diri dan bahkan ada yang melakukan percobaan bunuh diri melompat ke jurang,” paparnya.
Sri Sumarsih juga mengatakan, kejadian bunuh yang mulai berkurang karena adanya upaya dari Kamtibnas, khususnya Polres Gunungkidul, kepada warganya yang mengalami sakit menahun.
“Memberikan semangat supaya tidak mengalami depresi, khususnya yang mengalami sakit menahun,” pungkasnya.
Cerdas Emosi
Menurut sosiolog kriminalitas, Drs Suprapto SU, ada faktor penting yang harus dikelola seseorang yang sedang mengalami masalah berat. Kecerdasan emosi. Jika seseorang gagal mengelola, maka jalan pintas yang akan ditempuh.
Dalam kasus Regan di Kasihan, Bantul, menurut Suprapto, pelaku bunuh diri ini gagal mengelola kecerdasan emosinya. “Kalau dia dapat mengendalikan dirinya, dia tidak akan mempedulikan omongan orang lain dan kembali ke aktivitasnya,” paparnya.
Di sisi lain kesibukan kedua orangtua dan jarangnya komunikasi dengan orangtua dapat mendukung terjadinya disintegrasi sosial pada dirinya. Proses interaksi yang kurang dibangun itu juga menumbuhkan rasa malas berinteraksi, badmood dan ilfeel.
Disintegrasi itu tidak mengenal umur, status, maupun profesi seseorang. “Jika setidaknya punya dua tahapan peratama dari kecerdasan emosi, anak itu tentu tidak mengalami disintegrasi. Setidaknya, dia akan mengacuhkan ejekan orang lain dan tetap melanjutkan kegiatannya. Malas berkomunikasi yang diterus-teruskan dapat terlambat,” paparnya.
Keterlembatan itu muncul dari berkelanjutan rasa malas komunikasi dan segala persoalan dipendam sendiri, sheingga menimbulkan halusinasi karena terus melamun. Halusinasi dari lamunan itu dapat termanifestasi ataupun berkembang ke tahap selanjutnya.
“Jadi jika ada orang-orang yang mengaku mendapat bisikan ketika melakukan tindakan, itulah tahapan setelah halusinasi yang termanifestasi. Sehingga tidak menutup kemungkinan anak SMP dapat melakukan hal itu,” tegasnya. (dilansir dari sumber Tribun Jogja, Kamis 12/3/2015, halaman 1)