Pengamat Komunikasi dan Media UGM, Wisnu MArtha Adiputra , menilai pemblokiran situs Islam oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) baru-baru ini merupakan kemunduran bagi proses demokrasi di Indonesia.
Menurut dia, kondisi ini justru seperti pada masa orde baru dimana fungsi Komenkominfo sama halnya dengan Departemen Penerangan. “Seharusnya Kemenkominfo mendorong hak atas informasi bagi masyarakat. Bukan membatasi,”papar Wisnu di Universitas Gadjah Mada, Kamis (2/4).
Meski demikian, Wisnu sepakat situs-situs yang terbukti mengajarkan paham radikalisme diblokir. Hanya saja dari pengamatannya, dari sekitar 22 situs Isalam yang diblokir tersebut, tidak semuanya menyebarkan paham radikalisme.
Selain itu, dasar pemblokiran situs-situs ini masih menggunakan Peraturan Menteri Komunikasi No 19 tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif yang tidak menggunakan UU Pers sebagai bahan pertimbangan.
“Ini ada sejak jaman Kemenkominfo dipimpin Tifatul Sembiring dan kini layak dibatalkan. Peraturan menteri memang memuat tindakan normalisasi pemblokiran namun kurang dalam sosialisasi,” papar pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM itu.
Wisnu menjelaskan , penyebaran paham radikalisme bisa dilakukan melalui berbagai macam cara. Selain melalui media online, belum lama ini juga terungkap adanya buku pelajaran sekolah yang juga memuat paham tersebut.
“ini yang harus diantisipasi pemerintah. Bahkan sejak pilpres lalu banyak situs-situs yang layak ditutup,” imbuh Wisnu.
Senada dengan Wisnu, Dosen Fakultas HUkum UGM Heribertus Jaka Triyana SH LLM melihat pemerintah terlalu reaktif dengan memblokir situs-situs tersebut. Pemerintah seharusnya menegakkan UUD 1945 pasal 28 yang menjamin kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.
“Jangan dipukul rata semua bertentangan dengan nilai-nilai agama. HAM tentang informasi san berekspresi dilindungi undang-undang,” jelas Jaka.
Jaka berpendapat , saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah dalam penegakan hukum terkait HAM. Pemerintah harus bersikap adil dalam membuat kebijakan, tanpa disertai sentimen politik dan agama. (dilansir dari sumber Tribun Jogja, Jumat 3/4/2015, halaman 15)