Kenakalan remaja yang menjurus pada tindak kekerasan dan kriminal, belakangan ini makin mengkhawatirkan. Tidak terkecuali di wilayah Yogya. Kondisi ini membuat Pemerintah Daerah DIY miris dan merasa perlu segera melakukan tindakan tegas dengan digagasnya peraturan daerah (perda) terkait kenakalan remaja agar tidak mengarah kepada kriminalitas.
“Saya sedang berpikir mempunyai cara, paling sedikit dengan adanya perda yang mengendalikan bagaimana orangtua sebelum anak-anaknya dewasa bertanggung jawab mendidik anak tersebut dengan baik. Hal ini untuk kurangi kekerasan dan pelanggaran oidana yang dilakukan anak-anak di bawah umur,” kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pemda tengah berdialog dan membuka diri menyaring masukan bagi perda tersebut. Melihat kenyataan anak-anak SMP yang belum dewasa justru menlakukan kekerasan yang melebihi batas, seperti kekerasan anak yang mengarah kriminalitas di Bantul dan Sleman notabene dilakukan anak-anak SMP.
Orangtua mempunyai kewajiban kepada anaknya, mereka tidak bisa menjadikan kesibukan sebagai senjata untuk melalaikan anak-anaknya. Terlebih dengan kemajuan era teknologi informasi, orangtua bis aterus memantau dan berkomunikasi denga anak-anaknya melalui handphone.
“Kondisi kenakalan anak-anak yang sudah mengarah kriminalitas di DIY saat ini sangat mengkhawatirkan maka perlu perda. Perda ini sedag didesain tahun ini supaya bagaimana orangtua punya tanggungjawab membina anak-anak di bawah umur, sepertu lahirnya Perda Kekerasan Ibu dan Anak,” tuturnya.
Menurut Sultan, harus ada paugeran (peraturan) orangtua mempunyai tanggung jawab terhadap anak yang belum dewasa seperti jangan meninggalkan anak di bawa umur sendirian di rumah, anak harus dididik dengan baik oleh orangtuanya dan sebagainya. Dari sini juga akan tumbuh konsultan-konsultan keluarga guna mewujudkan huungan harmoni anak dengan keluarganya. Seperti ketika menangani kekerasan ibu dan anak akan muncul LSM yang menyuarakan perlindungan ibu dan anak.
“Kepastian hubungan ditunang dengan perda supaya ada kepastian hubungan orangtua dan anak diperhatikan, ini bentuk pelayanan publik terhadap masyarakat,” lanjut Sultan.
Sultan sudah berkomunikasi dengan dewan untuk membuat perda tersebut. Namun yang utama adalah membuat pelayanan untuk anak-anak, dalam arti tanggung jawa orangtua dan kekerasan yang terjadi bisa ditanani dengan baik. Anak-anak yang belum dewasa dan melakukan kenakalan maupun kriminalitas memang sebaiknya dikembalikan lagi kepada keluarga karena juga belum memenuhi hukum.
“Anak mau senakal dan sejahat apa pun, orangtua harus ikut bertanggung jawab. Saya hanya ingin orangtua fokus memperhatikan anak-anaknya sendiri dalam pendidikan. jangan dilepas begitu saja dan bersikap masa bodoh,” kata Sultan.
Selain keluarga, faktor pendukung lainnya adalah lingkungan yang menjadi tempat tumbuh kembang anak. Harapannya seperti Civil of Police yang melibatkan masyarakat di desa yang bisa mengontrol peran orangtua terhadap anak lebih baik.
Keterlibatan masyarakat ini nantinya akan sangat berguna untuk melihat fenomena-fenomena yang timbul di masyarakat sehingga nantinya tidak membesar dan meluas, termasuk kenakalan anak-anak dan remaja. CoP ini dibuat di tiap kelurahan hingga desa dengan koordinasi dari Babinkamtibmas kepolisian setempat dengan penanggung jawab kepala desa.
Kapolda DIY Kombes Pol Erwin Triwanto pun menaruh perhatian terkait tindak pidana yang melibatkan anak. Meski belum satu bulan menjabat sebagai orang nomor satu di jajaran Polda DIY, Erwin langsung memerintahkan kepada Kapolres dan Kapolresta untuk melakukan kegiatan pendekatan ke sekolah-sekolah dan memberikan penyuluhan kepada para pelajar.
Kapolda juga berharap peran serta semua pihak dalam mencegah atau meminimalisir anak melakukan tindak pidana. “Mengatasi kenakalan remaja ini bukan hanya tanggung jawab polisi, namun semua pihak terutama orangtua dan lingkungan sekitar,” tandasnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca mengatakan, fenomena kenakalan anak-anak dan remaja yang mengarah kriminalitas paling besar terjadi didaerah perkotaan, di mana situasi daerah urban berbeda dengan daerah rural. Anak-anak remaja di kota memiliki persaingan identitas yang ketat dan adanya gradasi kelas-kelas di lingkungan sekolahnya.
“Mereka mempunyai tekanan baik di sekolah, orangtua dan lingkungan yang tidak ramah. Belum lagi minimnya area publik bagi remaja untuk berekspresi dan banjirnya informasi teknologi di era globalisasi yang justru menjauhkan satu dengan yang lain,” tutur Najib.
Di era globalisasi seperti ini, menurut Najib, gaya hidup anak muda semakin interaktif dan membentuk kelas-kelas sosial di mana semakin tidak ramah kepada mereka. Remaja itu merupakan fase keritis untuk menghadapi masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Mereka sudah bukan anak-anak lagi tapi mereka juga belum dewasa. Alhasil di usia-usia rentan ini, mereka akan menari identitas baru karena mereka belum dewasa. Tantangannya sangat besar di sini supaya anak bisa bertahan (survive) di masa-masa pencarian identitas tersebut.
Selama masa-masa transisi, Direktur Youth Studies Center (YouSure) UGM ini menegaskan, faktanya keluargalah sebagai bemper penting dari kenakalan anak-anak tersebut. Jika tidak dibentengi keluarga, mereka akan kelyar dan mencari kelompoj dengan berbagai kemungkinan. Kenakalan anak-anak ini mayoritas disebabkan keluarga bermasalah, lingkungan di sekolah kurang pembinaan, lingkungan di sekolah kurang pembinaan, lingkungan non sekolah atau di lingkungan perumahan/kompleks dan kurangnya public space yang ramah bagi remaja. Selain itu disusul faktor teknologi informasi di mana secara umum sulitnya membendung derasnya informasi dan kemudahan mengakses di dua digital.
“Minimnya ruang publik berekspresi dan sebagai pusat kebudayaan bagi anak muda mengakibatkan mereka lari ke game online, kafe-kafe dan tempat hiburan lain. Dunia digital dengan konten-kontennya juga susah dibendung apalagi tentang kekerasan,” ungkap Najib.
Menurutnya, efek jera yang bisa diberikan harus hati-hati betul, tidak dengan dipenjarakan karena mereka masih di bawah umur. Jangan sampai justru penjara menjadi training kenakalan remaja menjadi kejahatan remaja. Hukuman dipilih sebagai ujung jalan terakhir. Namun rehabilitasi sosial lebih efektif untuk memutus mata rantai kekerasan tersebut.
“Yang paling penting utamakan pencegahan, bukan ancaman di balik jeruji penjara atau sanksi karena tidak efektif.” pungkas Najib.