Bandung Conference and Beyond 2015 resmi dibuka oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, H.E. Retno L.P. Marsudi, Rabu (8/4) pagi. Bertempat di Balai Senat UGM, acara ini diikuti oleh lebih kurang 200 peserta dari berbagai negara. Institute of International Studies UGM dan The School of Political Science and International Studies University of Queensland menyelenggarakan acara ini dalam rangka memperingati 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Acara akan berlangsung selama dua hari meliputi sesi seminar dan diskusi panel bertajuk Rethinking International Order, Identity, Security, and Justice in A Post-Western World.
Materi seminar akan disampaikan oleh sejumlah pembicara terkemuka dari negara-negara Asia dan Afrika, yaitu Prof. A.K. Ramakrishnan (Jawaharlal Nehru University, India), Dr. Andrew Phillips ( University of Queensland, Australia), Prof. Dr. Mohtar Mas’oed (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), Riza Noer Arfani, Phd (Cand.) (Ritsumeikan University, Jepang), Dr. Makarim Wibisono (Pelapor khusus PBB untuk isu HAM di Palestina), Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar (Sekretaris Deputi Urusan Politik untuk Wakil Presiden Republik Indonesia), dan Pierre T. Sane (Presiden dan Pendiri Imagine Africa Institute, Senegal). Dalam pertemuan ini, hadir pula Guru Besar School of International Service American University, Prof. Amitav Acharya sebagai pembicara kunci. Sedangkan pada diskusi panel, sebanyak 52 makalah akan dipresentasikan oleh 82 panelis dari Indonesia, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Jamaika, Taiwan, Filipina, dan Sri Lanka.
Bandung Conference and Beyond 2015 bertujuan untuk menilik kembali KAA 1955 guna memetakan dan menyelesaikan permasalahan global di masa sekarang. KAA 1955 sendiri dilaksanakan 10 tahun setelah perang dunia kedua. Konferensi tersebut memberikan dampak penting bagi hubungan negara-negara barat dengan negara-negara yang baru merdeka pada saat itu. Namun demikian, pengaruh semangat KAA terhadap hubungan negara “Selatan-Selatan” dan “Utara-Selatan” saat ini masih dipertanyakan. Menurut Rektor UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., pengaruh konferensi bagi peserta konferensi yang notabene akademisi dari Asia dan Afrika dapat dilihat melalui pertemuan ini. “Masyarakat Asia dan Afrika semestinya tumbuh dan berkembang bersama, memperkenalkan kebijaksanaan (the angle of wisdom) negara-negara Asia dan Afrika kepada dunia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dwikorita menyayangkan banyaknya program-program global yang berdasar pada sudut pandang negara-negara maju. Negara maju menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara di Asia dan Afrika masih mengikuti alur pengembangan pendidikan tinggi oleh negara-negara maju. Padahal, negara-negara di Asia dan Afrika memiliki akademisi yang tidak kalah cemerlang. Hanya saja kesempatan bagi mereka relatif terbatas terutama oleh dana. “Kami berharap, dalam pertemuan ini kita dapat bertukar pikiran, merumuskan tujuan strategis untuk kemajuan Asia-Afrika di ranah global,” tutur Dwikorita dalam sambutannya.
Retno Marsudi mengapresiasi acara ini sebagai wadah untuk menampilkan perspektif dari negara-negara di Asia dan Afrika. Hal ini tentu signifikan menjelang peringatan Konferensi Asia Afrika yang akan digelar di Bandung pada 18-21 April 2015 mendatang. Retno menilai perlunya pembentukan kembali solidaritas antara negara-negara di Asia dan Afrika sebagaimana tertuang dalam Dasasila Bandung. “Saya percaya bahwa Dasasila Bandung tetap berlaku hingga sekarang, meskipun tentu saja lebih relevan dengan situasi pada masa silam,” jelas Retno.
Kerja sama antara negara-negara di Asia dan Afrika belum terwadahi dalam forum pertemuan rutin seperti halnya Asia-Pasific Economy Cooperation, Forum for East Asia and Latin America Cooperation , dan Asia-Europe Meeting. “Untuk memperkuat kerja sama antara negara-negara di Asia dan Afrika, pemerintah hendak mengusulkan pembentukan Asia Africa Center,” ungkap Retno. Asia Africa Center diusulkan untuk menjadi pusat aktivitas kerja sama, diskusi ilmiah, serta memperkokoh relasi Asia-Afrika yang sudah terjalin sebelumnya. (Alya Nurbaeti-OPRC)