Meski masih menyisakan perdebatan, setiap tanggal 21 April berbagai kalangan memperingati hari itu sebagai “Hari Kartini”. Momentum itu digunakan untuk mengenang jasa-jasa RA Kartini dalam mengembangkan emansipasi kaum perempuan.
Sari, mahasiswa FIS UNY, misalnya, mempertanyakan mengapa hanya ada Hari Kartini, padahal banyak perempuan lain yang juga berjasa untuk bangsa ini, seperti Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, dan sebagainya. Terlepas dari kontroversi itu, ritual tahunan peringatan hari Kartini bagi sebagian mahasiswa, tetaplah penting sebagai momentum peringatan menghilangkan diskriminasi bagi kaum perempuan. Hanya saja, cara memperingati hari Kartini itu perlu ditekankan pada substansinya. Memakai baju adat dan berkeliling kampung memang atrasi yang menarik, namun sebaiknya diimbangi pula penamaman makna dari Hari Kartini itu sendiri.
“Lebih diutamakan penanaman bagaimana perjuangan Kartini memajukan kaum perempuan. Tidak harus mengadakan perayaan dengan memakai baju adat. Tapi bisa dituangkan dengan hal yang bermakna.” ungkap Rina Mei, mahasiswa FIS UNY.
Hal ini diamini Putu, mahasiswa FIB UGM, yang mengusulkan agar peringatan tidak hanya simbolik dengan menggunakan identitas kultural saja, tetapi lebih baik ada upaya menceritakan surat-surat Kartini di setiap sekolah. Dengan begitu, anak-anak bisa mengetahui bagaimana pesan kartini dimaknai saat ini.”
Bagi Putu, emansipasi wanita di Indonesia saat ini sudah berjalan, tetapi memang belum maksimal. Sudah banyak perubahan, bagaimana perempuan dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan pria, namun mereka tidak akan lupa tanggung jawabnya sebagai perempuan.
“Emansipasi wanita di Indonesia sudah berjalan. Di Yogya saja, misalnya, sudah banyak wanita karir. Perempuan bisa melakukan kegiatan lelaki, tapi perempuan tidak lupa dengan kegiatan di rumah. Misal, dia sebagai ibu rumah tangga, ya harus bisa ngurus anak dan melayani suaminya,” tambah Deviciptia, mahasiswa FIS, UNY
Pusat Studi Wanita (PSW) UGM, adalah salah satu lembaga yang jugaterlibat dalam setiap peringatan Hari Kartini. Antara lain, dengan mengadakan upacara, mengundang relasi, dan nantinya PSW UGM akan mempresentasikan bagaimana komitmen UGM terhadap perempuan atau terhadap problema gender. PSW juga menlakukan diskusi tentang perempuan yang bertujuan menyadarkan kembali perjuangan kaum perempuan.
Soeprapto Drs, SU, Kepala PSW UGM menilai, Hari Kartini perlu diperingati, karena diperingati saja pun, roh dari perjuangan Kartini tidak dipahami oleh semua orang. Karena itu, tetap harus diperingati, setidaknya orang ingat, bahwa ada pejuang perempuan yang bernama Kartini, di samping ada pejuang-pejuang yang lain seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Din, Cut Mutia, Nyi Ageng Serang, dan lain sebagainya.
emansipasi, bagi Soeprapto, jangan hanya soal persamaan hal, tetapi juga persamaan kewjiban. Ketika orang sudah punya hal, di situ akan melekat kewajiban. Selama ini yang diperjuangkan kaum perempuan, kelompok-kelompok tertentu, hanya membahas tentang hak. Contoh yang sederhana, ketika kuliah sore para mahasiswa berteriak, “Pak jangan sore, yang perempuan gimana?”
“Lho katanya persamaan hak dan kewajiban? Hal ini karena berkaitan pada kondisi yang berbeda. Orang harus sadar akan adanya konstruksi sosial dan kodrati. Contohnya, wanita punya tangan, bisa mencuci pakaian, taoi juga bisa mencangkul. Namun, pengertiannya selama ini yang mencangkul itu laki-laki, dan ini disebut sebagai konstruksi sosial. Sedangkan aspek kodrati adalah, laki-laki memiliki jakun, tapi wanita tidak memiliki jakun,” jelas Soeprapto.
Contoh lain, ditambahkannya, perempuan punya rahim dan laki-laki tidak. Menurutnya ini akan membedakan peran aspek kodrati. Dengan adanya rahim diharapkan seorang wanita untuk tidak merokok, karena merokok akana membuat kering rahim. yang nantinya akan berdampak tidak memiliki keturunan.
“Saya selalu ingin pahamkan tentang emansipasi itu, persamaan antara hak dan kewajibannya, kita sesuaikan antara peran yang dikonstruksikan masyarakat dan aspek kodratinya. Dengan begitu, maka cara yang dapat saya tempuh untuk mempertahankan emansipasi di zaman modern, yakni sosialisasi terus menerus tentang perjuangan dan nilai-nilai yang pernah disampaikan Kartini. Harapannya, setelah sosialisasi itu ada peresapan yang kami sebut dengan internalisasi, orang memahami perempuan itu siapa dan harus bagaimana, setelah itu mendorong mereka untuk mengaplikasikan, mengimplementasikan, melembagakan apa yang sudah diresapinya. Kalau sekedar tahu, itu kan percuma, belum terlaksana,” jelasnya.
Dengan adanya emansipasi maka diskriminasi pada wanita saat ini sudah di bilang cukup rendah frekuensinya dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini, menurut Soeprapto, dapat ditinjau dari posisi wanita dalam status sosial dan politi. Banyak wanita yang bergerak dalam bidang politik, namun belum lama ini ada problema, mengenai kedudukannya yang belum seimbang dengan kaum laki-laki.
“Porsi untuk wanita dalam bidang politik calonnya hanya 30%. “Kalau calon, berarti belum tentu jadi, kalau saya berharap kembali seperti dulu saja, bahwa proporsi di bidang politik itu, andaikata hanya 30 ya sudah 30 yang real, ada. Kalau hanya calon, maka porposi akan berkurang, tidak jadi 30. Paling tidak, berilah kesempatan untuk kaum wanita melakukan aktivitas di bidang politik,” jelas Soeprapto”.
PSW UGM merupakan bagian dari masyarakt yang berpartisipasi aktof dalam pembangunan yang berkelanjutan, dan menyiapkan sumber daya manusoa yang berkualitas. PSW UGM ini sudah berdiri sejak tahun 1991, yang didesain untuk merespon berbagai persoalan gender dan mendorong sumber daya intelektual dari berbagai ilmu. Soeprapto sudah sejak lama diminta untuk menjadi kepala di PSW UGM dari tiga periode kepemimpinan sebelumnya. Namun, Soeprapto baru saat ini mau menerima tawaran dan jabatan sebagai kepala di PSW. Ia diminta untuk menjadi kepla di PSW UGM, karema ia sudah sejak tahun 1983 melakukan penelitian dan kegiatan yang berkaitan dengan persoalan perempuan dan gender. Karir Soeprapto di PSW UGM ini dimulai sejak PS berdiri, yakni sebagai konsultasn BKKBM DIY maupun pusat.
PSW ini sebenarnya melakukan kegiatan yang sama dengan fakultas, dnegan prodi, yaitu penelitian, pengabdian pada masyarakat dan juga pengajaran atau pendidikan. Hal ini yang berkaitan dengan pengajaran misalnya memberikan sosialisasi, pemahaman, tentang pengaruh utama gender atau kesetaraan gender pada berbagai pihak. Kemudian melakukan penelitian-penelitian berkaitan dengan kekerasa, peran-peran perempuan itu. “Lalu pengabdiannya kita melakukan aktivitas, antara lain membuka konsultasi bagi orang-orang yang memiliki problema yang berkaitan dengan masalah remaja dan keluarga,” jelas Soeprapto