Terlihat seorang mama-mama Papua mengangkat hasil bumi dari sebuah kol berwarna biru. Sang mama tersebut, meletakkan satu karung besar pada punggungnya dan kemudian meletakkannya di sebuah ruang lapang. Sementara itu, suasana pasar makin riuh, nampak beberapa orang sedang menawar barang atau menjual barang. Adegan itu menjadi pembuka dalam sebuah film pendek yang berjudul Awin Meke. Film ini bercerita tentang bagaimana warga asli Papua yang diwakili oleh para mama-mama Papua mengalami ketidakadilan ketika mereka berjualan di pasar. Selain satu film tersebut, ada lima film pendek yang juga diputar bedurasi 20-25 menit dan bercerita tentang kehidupan masyarakat Papua yang seringkali mengalami ketidakadilan.
Beberapa film yang diputar tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam acara diskusi dan screening film yang bertajuk Melihat Papua Lebih Dalam pada Kamis (23/4) sore. Acara tersebut merupakan salah satu program kerja Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakkan Publik (GAMAPI) FISIPOL. Diskusi dan screening film yang berlokasi di Ruang BA 103, menghadirkan Zely Ariane, aktivis Papua Itu Kita sebagai pemateri utama.
Setelah nonton film selesai, Zely begitu panggilan akrabnya, meminta beberapa perwakilan peserta acara untuk mengungkapkan pendapat peserta mengenai Papua. Ada yang berpendapat, keadaan Papua saat ini tak lepas dari pendekatan keamanan negara yang dinilai sangat militerisitik sehingga menghambat masyarakat Papua sulit untuk bergerak ataupun meningkatkan kesejahteraan. Di sisi yang lain, ada juga yang berpendapat, adanya dana otonomi khusus yang tidak sampai dan hanya dinikmati oleh elit-elit lokal yang ada di sana sehingga masyarakat Papua menjadi seperti sekarang ini.
Mendengarkan beberapa pendapat mengenai apa yang dipikirkan peserta, ia merasa lega karena beberapa pendapat tersebut tidak sama sekali memberikan stereotip terhadap masyarakat Papua. “Seringkali ketika ngobrol dan berdisukusi mengenai Papua, ketika mengungkapkan pendapat mereka terkesan sok tahu dan menyimpan stereotipe terhadap masyrakat di sana. Saya merasa senang beberapa tidak memberikan stereotipe tersebut,” tuturnya.
Mengungkapkan pendangannya mengenai Papua, Zely memberikan perhatian pada empat hal ketika membicarakan mengenai masalah-masalah di Papua. “Supaya kita tidak terjebak pada berbagai macam sok tahu dan terjebak pada stereotip mengenai permasalahan di Papua, saya akan menggarisbawahi empat hal. Keempatnya yakni, mengenai militerisasi, stigmatisasi, diskriminasi dan marjinalisasi, terakhir ruang demokrasi yang sangat minim di sana,” ucapnya.
Seperti kita tahu, masih menurut Zely, pendekatan yang sangat militeristik dalam menangani masalah di Papua dinilai sebagai salah satu biang keladi mengapa masyarakat Papua kemudian mengalami stigmatisasi, diskriminasi dan marjinalisasi. Sementara itu, ruang demokrasi yang sangat minim di sana juga berdampak pada semakin luasnya stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami warga Papua. Menurut Zely, ruang demokrasi di sini bisa digambarkan melalui, minimnya berita mengenai masyarakat Papua yang muncul di berita-berita nasional, selain juga sulitnya izin bagi wartawan untuk bisa meliput berbagai kasus di sana.
Sebenarnya, lanjut Zely, mengatasi permasalahan Papua tersebut menurutnya harus dimulai dari mengubah paradigma pendekatan dalam menangani masalah di Papua. Dalam hal ini mengubah pendekatan militeristik dalam menganani Papua. Selain itu, ketakutan masyarakat Indonesia mengenai gerakan separatisme dan juga lepasnya Papua dari Indonesia juga harus mulai dihilangkan. Karena, ketakutan tersebut menunjukkan hal kronis mengenai masalah ‘ke-Indonesiaan’ kita dan bagian dari nasionalisme sempit.
Menyoroti hal itu, menurut Zely, perubahan tersebut memang harus dipikirkan secara matang. Lantaran mengubah pendekatan keamanan berarti merupakan bagian dari mengubah pendekatan yang selama digaungkan pemerintah yakni bahwa ‘NKRI Harga Mati’. “Menangani permasalahan di Papua itu seharusnya mencerminkan nasionalisme (ke-Indonesiaan) kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Karena dengan memperlakukan lewat kedatangan militerisme di sana bukan merupakan bagian dari sebuah kemanusiaan dan menunjukkan nasionalisme sempit kita semakin ada,” tutup Zely. (D-OPRC)