Senin (27/4) siang, Institute of International Studies (IIS) UGM menyelenggarakan sebuah diskusi bulanan. Diskusi tersebut berjudul “Indonesia dan Misi Perdamaian PBB: Arah Kebijakan di Era Jokowi”. Diskusi berlangsung di ruang rapat IIS dengan menghadirkan Drs. Dafri Agussalim, MA, dosen Hubungan Internasional UGM, sebagai pembicara. Diskusi ini diselenggarakan sebagai salah satu bentuk upaya kritis terhadap langkah-langkah yang ditempuh pemerintahan Jokowi saat ini, khususnya dalam perumusan kebijakan luar negeri.
Diskusi diawali dengan pemahaman seputar misi perdamaian. Indonesia telah turut serta mengirim pasukannya sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian PBB sejak tahun 1957. Sebagai negara anggota komunitas, Indonesia terikat oleh norma-norma universal, seperti misalnya hukum internasional dan standar HAM internasional. Oleh sebab itu, tidaklah etis ketika Indonesia menolak untuk terlibat dalam upaya menuju ketertiban dunia. Hal tersebut sudah merupakan amanat yang tertuang dalam konstitusi negara, UUD 1945.
Selain alasan etis, ada pula alasan praktis atau pragmatis, yaitu kebermanfaatan bagi kepentingan negara, terutama bagi politik luar negeri dan TNI. Keterlibatan dalam misi perdamaian rupanya memang menguntungkan. Pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian dapat menambah bobot pelaksanaan kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya karakter dasar politik luar negeri bebas aktif. Hal ini juga dapat meningkatkan citra RI di mata masyarakat internasional sebagai negara yang memiliki komitmen tinggi dalam menciptakan dan memelihara nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Keikutsertaan Indonesia dalam misi PBB, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah memperkuat aspek soft power Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Kuatnya soft power merupakan modal yang tangguh dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Salah satu hasil dari kuatnya soft power adalah terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada periode 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.
Tidak hanya memiliki manfaat ke luar, keterlibatan dalam misi perdamaian juga memiliki manfaat ke dalam. Pertama, memberikan kesempatan peningkatan profesionalisme, keterampilan dan pengetahuan serta pengalaman pergaulan internasional pada personil yang dikirim. Kedua, sebagai bagian dari peningkatan pengelolaan organisasi dan sumber daya TNI, baik secara politik maupun administratif. Ketiga, mendapatkan dukungan dana, persenjataan, dan akses ke teknologi persenjataan dari luar negeri.
Indonesia sendiri sudah terlibat dalam 29 misi perdamaian. Langkah konkritnya adalah dengan mengirimkan Kontingen Garuda ke daerah konflik. Indonesia pernah mengirim pasukannya ke Mesir, Kongo, Vietnam, Kambodja, Afghanistan, Bosnia, Lebanon, dan lain-lain. Kepercayaan pun semakin meningkat sejak berhasilnya misi Kongo pada tahun 2003. Apa yang dilakukan pasukan Indonesia, menurut Dafri, lebih kepada bagaimana merebut hati rakyat setempat daripada langkah militer. “Itulah hebatnya pasukan kita (Indonesia). Mereka melakukan berbagai macam pendekatan, seperti melakukan olahraga bersama atau masak bersama. Dengan cara-cara demikian mereka dapat diterima,” ungkap Dafri.
Berdasarkan laporan PBB pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan 15 dari 177 negara yang paling banyak mengirimkan pasukan penjaga perdamaian dunia. Namun kini, isu seputar misi perdamaian tampak jarang dibicarakan di era Jokowi. Padahal isu ini merupakan tantangan tersendiri dan penting bagi Indonesia. Politik luar negeri tidak statis dan kebutuhan masing-masing wilayah konflik tidak statis. Misi perdamaian pun sesungguhnya sulit untuk dapat bebas nilai. Oleh karena itu, isu ini perlu mendapatkan perhatian khusus dan digarap dengan serius.
Ada banyak tantangan terkait dengan keterlibatan dalam misi perdamaian. Di antaranya adalah kecenderungan pergeseran jenis konflik, misalnya dari konflik yang bersifat antarnegara ke intranegara, seperti konflik etnis dan agama. Pergeseran seperti ini bukan saja akan mengubah paradigma dasar pembentukan misi pemeliharaan perdamaian sebelumnya, tetapi juga menuntut penyesuaian kemampuan yg dimiliki oleh pasukan pemeliharaan perdamaian termasuk pasukan Indonesia. Tantangan berikutnya adalah kecenderungan perluasan fungsi peace keeping menjadi peace building. Selanjutnya, Indonesia juga perlu mengantisipasi kemungkinan menguatnya kepentingan politik dalam pelaksanaan misi, terutama oleh negara-negara besar. Kemungkinan menguatnya kompetisi antarnegara di dunia untuk memperbutkan peran dalam misi perdamaian pun penting untuk diantisipasi.
Banyaknya tantangan tentu perlu dijawab dengan kebijakan oleh pemerintah. Dafri mengkhawatirkan Jokowi yang tampaknya masuk ke dalam nasionalisme sempit. Jokowi seakan memusatkan perhatian penuh kepada rakyat tetapi mengabaikan masyarakat di luar sana. Salah satu contohnya adalah hukuman mati. “Ibaratnya, kebodohan tidak boleh terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di manapun di belahan dunia,” ujar Dafri. Jangan sampai Indonesia dianggap sebagi negara “kelas penjahat”. Bagaimanapun, citra diri itu penting. Apabila kita dipandang buruk oleh masyarakat dunia tentu akan banyak kerugian yang kita dapatkan.
Politik luar negeri di era Jokowi masih belum jelas, baik dari segi doktrin, fokus atau titik prioritas maupun strategi dan style untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berdasarkan tafsiran beberapa pengamat, Jokowi berkeinginan untuk menjadikan Indonesia bukan hanya partisipan pasif yang menarik saja, tetapi juga sebagai negara middle power yang eksis dan berkontribusi bagi dunia internasional. Mengedepankan ekonomi kerakyatan yang berbasis maritim menjadi isu prioritas dalam kebijakan luar negeri Jokowi. Meskipun demikian, belum ada langkah konkrit yang memperlihatkan arah kebijakannya.