Penulis adalah PhD Candidate Australian National University
Dosen JPP Fisipol UGM
Setelah eksekusi mati terhadap terpidana Dua Bali Nine, Myuran Sukamaran dan Andrew Chan dilaksanakan, Pmerintah Australia langsung mengumumkan langkah diplomatis yang sudah lama dipersiapkan. Tony Abbott, Perdana Menteri Australia yang sudah memanggil duta besarnya untuk RI, Paul Grigson untuk konsultasi. Mari kita melihat kronologi persoalan ini lebih jelas.
Kasus Bali Nine, atau sembilan orang warga Australia yang ditangkap karena narkoba berawal dari sebuah telepon agen travel Australia ke rumah keluarga Lee Rush, ayah Scott Rush salah satu terpidana pada April 2005. Agen travel tersebut mengonfirmasi Lee Rush bahwa Scott Rush akan terbang ke Bali. Lee Rush sadar anaknya tidak memiliki uang dan paspor untuk pergi ke Bali dan sudah bermasalah dengan narkoba sejak SMP.
Lee Rush lalu menghubungi kenalannya seorang pengacara karena khawatir anaknya masuk dalam sindikat narkoba internasional. Pengacara itu yang akhirnya memberikan informasi tersebut ke Polisi Federal Australia (AFP) dengan harapan Scott dilarang meninggalkan Australia. AFP mengabarkan bahwa mereka sedang menyelidiki sindikat narkoba transnasional. Sayangnya AFP tidak punya alasan untuk menaham Scott Rush ke luar dari Australia karena tidak memiliki barang bukti. Ketika sindikat Bali Nine berada di Bali, AFP memberi seluruh informasi sindikat ini ke Polri. Polri mengangkap Scott Rush dan lima sindikat lainnya di Bandara Ngurah Rai, termasuk dua gembongnya, Myuran Sukamaran dan Andrew Chan. Tiga lainnya ditangkap di Hotel Maslati.
Saat Andrew dan Myuran dieksekusi, publik Australia juga geram dengan AFP. Mereka menganggap ‘tangan’ AFP berdarah karena memberi informasi ke Polri. Sebaliknya, AFP menganggap tidak melanggar satu pun aturan hukum di Australia terkait kejahatan transnasional dimana ada hukuman mato di megara tersebut, termasuk Indonesia.
Dengan penjelasan itu, maka pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu khawator dengan protes pemerintah Tony Abbott karena beberapa alasan: Pertama, survei yang dilakukan Ray Morgan Institute pada Januari terhadap 2.123 responden yang diambil dari database responden mereka sebelumnya via SMS. Mereka menyatakan 52% mendukung hukuman mati untuk Australian yang tertangkap narkoba di negara lain.
Publik Australia geram dengan lemahnya hukum di Australia terkait narkoba, terutama narkoba jenis baru yang disebut ice. Penggunaan ice meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dari hasil penyitaan polisi negara bagian Victoria saja, meningkat 30% di tahun 2012 dan 35% di tahun 2013. Di dalam acara televisi Border Protection, selalu ada yang berusaha memasukkan narkoba ke Australia.
Dalam pengalaman saya pribadi, di kamar mandi Cooleman Court di Weston Creek, Canberra, Ibukota Australia tahun lalu. Seorang pria terduduk dengan jarum masih menancap di pergelangan lengan kanannya dan karet masih berada di lengannya. Jelas, dia sedang menggunakan narkoba dan teler saat itu juga. Satpam kemudian menelepon polisi dan polisi mengatakan yang intinya bahwa polisi tidak berwenang menangani kasus tersebut. karena tidak ada larangan menggunakan jarum suntik di kamar mandi. Bahkan di hampir setiap kamar mandi ada tempat khusus untuk meletakkan jarum suntik. Polisi menyarankan satpam untuk menghubungi ambulans. Urusan selanjutnya ditangani ambulans.
Kedua, alasan klasik. Jika dikalkulasi, Australia lebih membutuhkan Indonesia dibandingkan dengan Indonesia membutuhkan Australia. Indonesia adalah benteng geografis alami Australua dari segala macam persoalan, mulai narkoba, sampai manusia perahu. Seluruh impor Indonesia dari Australia mudah ditemukan substitusinya di negara lain, tetapi hampir seluruh ekspor Australi harus melewati perairan Indonesia. Itulah sebabnya, seluruh politisi senior, termasuk mantan Menlu Bob Carr mengkritik keras jika DUbes Australia betul-betul ditarik. Hal itu akan menyebabkan Australia semakin terasing di pojok Selatan dunia. Setelah tidak diundang di KAA.
Namun demikian, bagaimanapun, Australia adalah tetangga. Inilah takdir geografis kita. Tetangga dekat tetapi jauh berbeda, itu mengapa kita sering bermasalah. Dalam agama, kita harus menghormati tetangga. Jika hubungan pemerintahnya sedang bermasalah, tidak otomatis masyarakatnya juga bermasalah.