Pemandangan yang muncul di rusunawa Kabupaten Sleman, khususnya di Rusunawa Dabag di Dabag, Condongcatur, Depok, Sleman, terlihat bukan seperti rusunawa yang diharapkan. Sesuai peraturannya, rusunawa didirikan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Rusunawa adalah program pemerintah membantu MBR, dengan menyediakan perumahan dalam bentuk rumah susun yang dapat disewa dalam waktu tiga tahun, sampai penghuni mendapat rumah sendiri, dan dapat diperpanjang sampai dua tahun untuk memiliki rumah sendiri.
Untuk menyewanya tentu pihak penyewa harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan rumah susun. Syarat-syarat penghuni atau penyewa antara lain, KTP, Kitas & Kitem, sudah berkeluarga, penghasilan perbulan maksimal Rp 2,5 juta (MBR).
Dengan didirikan rusunawa, maka masyarakat yang membutuhkan perumahan murah dan terjangkau terbantu. Hal ini supaya mereka dapat terhindar dari berdiam atau tinggal di kawasan kumuh yang kurang memenuhi syarat rumah tinggal.
Namun pemandangan yang terlihat di Rusunawa Dabag, tampaknya tak sesuai dengan tujuan pendirian bangunan perumahan vertikal tersebut. Banyak mobil yang terparkir di parkiran rusunawa tersebut, padahal rusunawa diperuntukkan bagi warga berpenghasilan rendah.
Bahkan ada pula mahasiswa yang menyewa di rusunawa itu, meski syarat untuk menyewa harus sudah berkeluarga. Melihat fakta-fakta tersebut maka implementasi rusunawa yang diperuntukkan bagi warga menengah ke bawah atau miskin itu perlu dimonitor.
Pasalnya, keberpihakan terhadap orang miskin itu belum bisa dijaga dengan baik oleh pemerintah daerah, dalam hal ini oleh dinas pekerjaan umum dan perumahan, khususnya Kabupaten Sleman.
Tak diawasi
Dari temuan di lapangan, Rusunawa Dabag terlihat adanya pelanggaran kepemilikan atau sewa-menyewa hunian. Padahal, sejumlah persyaratan telah diberikan kepada calon penyewa untuk membatasi penggunaan rusunawa itu hanya untuk MBR.
Meski kemungkinan mereka memakai KTP atau Kipem, namun tampaknya tujuan awal pendirian rusunawa itu belum sesuai harapan. Kemungkinan ada berbagai kepentingan sehingga ada aturan yang tak ditaati atau syarat-syarat dilanggar?
Akibatnya, mahasiswa dan kalangan menengah dapat dengan mudah menyewa rusunawa yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk mereka. Mereka dapat menyewa dengan mudah, karena juga telah tahu cara atau jalan untuk mendapatkannya, terlebih jika hal itu dapat dilakukan dengan mudah tanpa pengawasan ketat.
Dari jumlahnya se-kabupaten Sleman terdapat 11 twin blok yang masing-masing berjumlah 96 unit hunian, tentu jumlah hunian bagi warga kurang mampu di rusunawa terbilang lumayan. namun tampaknya keluarga kecil yang kurang mampu belum maksimal untuk memanfaatkannya.
Perlu Dikritisi
Hal tersebut kemungkinan karena tidak adanya informasi tentang rusunawa yang tersampaikan kepada warga kurang mampu. Selain itu, juga kemungkinan adanya kepentingan untuk menjadikan hunian di rusunawa itu sebagai usaha atau broker, sehingga membuat tidak adanya kesempatan bagi warga miskin ini untuk menyewa.
Tentu, ini tidak ubahnya rusunawa itu sebagai tempat kos atau apartemen bagi mahasiswa yang dari luar. Apalagi informasinya, dari mulut ke mulut, sangat mudah untuk menyewa unit hunian rusunawa tersebut, melalui jalur broker.
Itu memperbesar kemungkinan bagi orang berkecukupan untuk menyewa hunian di rusunawa itu. Bukti-bukti atau syarat administrasi harus diperketat atau dicek ulang lagi. Itu diperlukan dalam menentukan boleh tidaknya orang yang tinggal di rusunawa tersebut.
Ditambah dengan adanya mobil-mobil di rusunawa itu, memungkinkan orang-orang kurang mampu menjadi takut untuk menyewa, karena sebagian besar penghuninya ialah kelompok menengah ke atas.
Permasalahan di rusunawa tersebut tampaknya belum banyak termonitor media, akademisi, LSM, ataupun mahasiswa. Karena itu, pihak-pihak tersebut perlu juga memberikan koreksi kepada pemerintah daerah, supaya pembangunan rusunawa betul-betul sesuai tujuan awal. (dilansir dari Tribun Jogja (06/05/2015) hal. 1)