Dendi Raditya Atmosuwito
Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM
30 April – 1 Mei masih dalam rangka memperingati 60 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung Jawa Barat diadakan Asian-African Student Conference (AASC) atau Konferensi Mahasiswa Asia Afrika 2015 (KMA) di Gedung Merdeka. Konfrensi ini merupakan yang kedua kalinya digelar, setelah konferensi pertama yang juga digelar di Bandung pada tahun 1956.
Dalam KMAA 2015 ini mengangkat enam fokus isu untuk dibahas. Keenam fokus isu tersebut yatu merumuskan strategi untuk mendorong peran kepemimpian mempromosikan nilai budaya Asia-Afrika, pendidikan inklusif, enterpreneurship, media sebagai pilar proses demokrasi, sumber terbuka untuk kemandirian digital, dan jaringan global mahasiswa Asia-Afrika.
KMAA 2015 memiliki visi terwujudnya sinergitas dan kerja sama antara mahasiswa Asia-Afrika untuk menyelesaikan masalah di berbagai bidang berbasiskan kepemimpinan pemuda. Berkaca pada sejarah, KMAA yang digelar 1956 menghasilkan suatu komunilke bersama yang isinya adalah:
Pertama, KMAA memperkuat dan menyokong resolusi-resolusi KAA 18-24 April 1955 di Bandung dan menyerukan kepada semua mahasiswa di Asia dan Afrika supaya membuat semangat Bandung sebagai dasar kerjasama;
Kedua, menganjurkan supaya declaration of human rights PBB dilaksanakan di wilayah Asia dan Afrika, menghukum dan menentang kolonialisme. Mengakui bahwa pada tanggal 18 April tiap tahun sebagau hari anti kolonialisme Asia Afrika;
Ketiga, menyokong perjuangan yang dijalankan oleh rakyat di Aljazair, Indonesia Asia Barat, Palestina, pemulihan hak-hak dan pengembalian pengungsian bangsa Arab ke tanah air mereka, serta perjuangan rakyat di Kenya;
Keempat, menyarankan para mahasiswa aktif dalam pembangunan bangsa mereka sesuai dengan fungsi kaum intelegensia dalam masyarakat.
Poin-poin penting dalam komunike bersama yang dihasilkan dalam KMAA 1956 tersebut sebaian telah berhasil terwujud dewasa ini seperti kemrdekaan Aljazair dan Kenya, serta kembalinya irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. namun dalam permasalahan Palestina, sudah kita ketahui bersama bahwa rakyat Palestina masih belum merasakan kemerdekaan dan masih menderita dalam penjajahan.
Hal ini tentu saja menjadi utang sejarang bagi mahasiswa Asia-Afrika karena 59 tahun yang lalu para pendahulu mereka sudah sepakat untuk merapatkan barisan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina dari penjajahan dan penindasan.
Berkaitan dengan poin keempat, Intelektualisme mahasiswa adalah perlambang energisitas subjek sebagai manifestasi keberagaman yang memiliki visi pencerahan, penyadaran, dan pencerdasan. Bermuara kepada kebebasan kemerdekaan sebagai “manusia sadar” yang berperan untuk membebaskan manusia dari penjara kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kerangkeng pragmatisme politik, serta perbudakan globalisme yang menghabisi nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu untuk dapat melakoni peran penting mahasiswa yang akan mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan pemanusiaan ke arah yang lebih baik maka perlu adanya intelektualisme yang tajam dan wawasan yang luas. Mahasiswa Asia-Afrika masa kini harus berperan sebagai intelektual dalam pembangunan bangsanya masing-masing yang semakin kompleks, serta saling bekerjasama antar mahasiswa Asia-Afrika untuk mengakhiri lingkaran kebencian dan mewujudkan perdamaian. (Dilansir dari Tribun Jogja (06/05/15))