Ditulis oleh Bayu Dardias
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan
Fisipol UGM
Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan dua kali Sabdaraja dalam selisih lima hari. Sabdaraja pertama menyingkirkan rintangan kultural yang menghambat GKR Pembayun menjadi Putri Mahkota. Sabdaraja kedua menegaskan perubahan nama GKR Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Menilik gelar Putra Mahkota yang umumnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Hanom Amengku Negara Sudibaya Raja Putra Narendra Mataram, pesan Sultan jelas; Pembayun adalah Putri Mahkota.
Upaya Sultan menunjuk Pembayun sudah lama tetapi memuncak pada penyusunan Perdais Pengisian Jabatan Gubernur DIY beberapa bulan lalu. Waktu itu beliau kalah, karena DPRD tetap memilih mengikuti jejak UUK 13/2012 dan tetap meninggalkan pertanyaan : Jika UUK yang narasinya sama dengan Perdais disambut Kraton dengan gembira, mengapa Perdais justru sebaliknya?
Penobatan seseorang menjadi penerus tahta seharusnya disambut dengan sukacita, bukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi. Apalagi, UUK sudah jelas menyebutkan : Sultan yang bertahta adalah Gubernur DIY. Sehingga momentum ini harus dinyatakan bersama dengan rakyat Yogyakarta. Tetapi yang justru terjadi, masyarakat curiga, dan tak ada ucapan selamat sama sekali.
Penobatan Putra Mahkota tak pernah sama kisahnya, tapi menarik untuk melihatnya kembali, setidaknya dalam kasus HB IX dan HB X. Dorojatun dikukuhkan menjadi Putra Mahkota di sebuah hotel di Batavia tahun 1939, setalah kembali ke Leiden. disana, HB VIII menyerahkan keris Kanjeng Kyai Joko Piturun di hadapan beberapa anak lelaki lainnya, termasuk anak lelaki tertua, Hangabehi. HB VIII meninggal beberapa hari kemudian di Stasiun Tugu. Selo Sumardjan (2012) menulis dalam disertasinya bahwa saat itu muncul petir di siang bolong, menandakan penerusnya adalah orang yang istimewa. Sejak saat itu , HB IX selalu memakai Keris Joko Piturun, tidak pernah memakai Keris Kanjeng Kyai Kopek (keris tertinggi) yang khusus untuk raja.
Penobatan KGPH Mangkubumi hanya berlangsung singkat, sesaat sebelum dikukuhkan menjadi Sultan. Beliau disebut putra mahkota lima menit karena sampai HB IX wafat tidak menunjuk putra mahkota. Seluruh paman, pakde dan adik-adik Sulta bersepakat menunjuk Mangkubumi menjadi Putra Mahkota dans emuanya hadir pada acara penobatan, termasuk tamu undangan dan masyarakat. Kemudian ada prosesi pembukaan tombak pusaka dan penghunusan keris oleh beberapa pangeran yang menandakan bahwa siapapun yang menolak, akan berhadapan dengan keluarga kerajaan.
Seluruh prosesi ini dihapuskan oleh JB X pada proses penobatan Pembayun. Garis keturunan laki-laki merupakan paugeran paling utama dalam seluruh kerajaan Islam di Indonesia. Lima hari sebelumnya, keris Joko Piturun dan Keris Kanjeng Kyai Kopek disempurnakke dan terancam teronggok dipojok Gedhong Prabayeksa karena tak memiliki pinggang yang layak diikuti.
tetapi yang paling penting, penobatan Pembayun tidak diikuti oleh dukungan politik keluarga kraton. Tidak ada satupun adik-adik lelaki Sultan yang hadir. Setelahnya, tidak ada satu pun yang mengucapkan dukungan. Satu-satunya pendukung Pembayun adalah Ngarso Ndalem.
Derajat penolakan Rayi Dalem terbagi menjadi dua. Ada beberapa yang frontal karena menganggap Sultan sudah melanggar paugeran – paugeran pokok kraton. Beberapa lainnya memilih diam karena percaya jabatan Sultan tidak hanya persoalan keinginan, tetapi juga takdir. Sultan HB VII empat kali memilih putra mahkota. Putra mahkota yang ketiga , Gusti Putro , meninggal ketika hari dan tanggal pelantikan menjadi Sultan telah ditentukan.
Perbedaan utama penobatan Pembayun adalah miskinnya legitimasi, baik secara adat, yurispudensi dan dukungan internal kraton. Legitimasi kuat dimiliki Sultan HB X saat ini tidka begitu saja diwariskan kepada Pembayun karena basis legitimasi utama, yaitu paugeran atau aturan main , telah dihilangkan.
Jadi, butuh usaha politik yang panjang untuk menjadikan Pembayun sebagai Sultan Hamengku Bawono XI, tidak hanya internal, tetapi juga ekstrenal. Jika toh Pembayun menjadi HB XI , siapa selanjutnya HB XII? Pembayun memiliki dua orang keturunan : RA Artie Arya Fatimasari dan RM Drasthya Wironegoro. Dari dua nama ini jelas tersirat, bahkan di dalam keluarga Pembayun pun, garis laki-laki masih dipercaya. (dilansir dari sumber Analisis KR, Kamis (7/5/2015), halaman 1)