Ditulis oleh Sumarsih
Alumni Fisipol UGM
Peneliti Arcon Solo
Belum reda gaung kasus prostitusi yang melingkupi kematian Dedeuh Syahrin atau yang dikenal di akun media sosial dengan Tata Chubby, kini terkuak pula kasus serupa yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) “papan atas”.
Peristiwa itu terungkap setelah Satuan Reserse Kriminal (Ssetreskrim) Polres Metro Jakarta Selatan berhasil melakukan penjebakan terhadap artis dan model yang juga nyambi sebagai PSK berinisial AA serta mucikarinya yang berinisial RA.
Merujuk pernyataan Kasatreskrim Polres Jakarta Selatan, AKBP Yulius Audie Sonny Latuheru, dari hasil pemeriksaan terungkap RA mempunyai 200 kotak dari pebagai macam profesi yang bisa menerima job.
Selain itu, terungkap pula biaya yang harus dikeluarkan oleh para pria hidung belang untuk menggunakan jasa PSK ‘papan atas” milik RA sekali kencan (short time), yakni berkisar antara Rp 80 juta hingga Rp 200 juta.
Maka tak heran , artis atau model yang notabene sudah mempunyai pendapatan cukup tinggi sekalipun tetep tergoda untuk nyambi menggeluti bisnis haram tersebut.
Dalam konteks ini, pilihan seorang artis atau model untuk nyambi sebagai PSK jelas bukanlah sebuah keterpaksaan sebagaimana fenomena yang kerap ditemukan pada kasus prostitusi yang melibatkan PSK kelas mnengah ke bawah.
Keterpaksaan
Pada umumnya , PSK kelas menengah ke bawah menjalani profesi sebagai PSK lantaran adanya unsur keterpaksaan semisal terjerat kemiskinan, terperangkap dalam hutang, dan tidak mempunyai bekal ketrampilan.
Sedangkan pada PSK “papan atas” , sulit untuk menemukan adanya unsur – unsur keterpaksaan yang kemudian memaksa untuk memilih profesi sebagai PSK. Itulah sebabnya, dalam rangka membumihanguskan prostitusi, aparat penegak hukum semestinya tidak hanya berorientasi pada pemberantasan mucikarinya saja.
Akan tetapi, faktor PSK juga perlu menjadi pertimbangan. Mengutip pandangan pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, apabila PSK terindikasi sebagai korban maka memang perlu diselamatkan, namun bila sebaliknya maka patut untuk pemberian efek jera.
Pada hakikatnya, pemberian efek jera terhadap bentuk pelanggaran hukum apapun sangat diperlukan untuk menghindari berulangnya kembali pelangaran hukum serupa. Celakanya, prinsip inilah yang justru belum diimplementasikan pada praktik pemberantasan prostitusi di negara ini.
Faktanya, pemberantasan prostitusi oleh aparat penegak hukum masih kerap hanya bertumpu pemberian efek jera untuk si mucikarinya saja, itu pun dengan sanksi hukum yang tergolong ringan.
Sanksi ringan
Pada Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan ancaman hukuman bagi “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan pembuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan hanya diancam dengan kurungan paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyaklima belas ribu rupiah.”
Demikian pula pada pasal 509 KUHP, disebutkan ancaman hukuman bagi “Setiap orang yang menarik keuntungan dari pembuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebgaia pencarian hanya dihukum pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Di sisi lain, aparat penegak hukum kepada para PSK biasanya hanya mengenakan sanksi hukum yang bersumber dari Peraturan Daerah (Perda) saja yang muaranya adalah pembinaan di panti sosial. Padahal, harus diakui tidak semua PSK adalah juga sebagai korban.
Dalam konteks PSK ” papan atas”, jelas mereka bukan sebagai korban karena tidak ada unsur keterpaksaan di dalamnya. Mengakhiri uraian ini, menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu memberikan efek jera tak hanya kepada mucikarinya semata, namun juga pada PSK yang terbukti bukan sebagai korban. (dilansir dari sumber Tribun Jogja, Selasa 12/5/2015, halaman 1)