Setelah kemarin berhasil mengadakan diskusi dengan tema “Jogja Sold Out (?)” kali ini SOREC UGM kembali mengadakan diskusi dengan topik yang hampir mirip. Dikatakan mirip lantaran tetap mengacu pada dua variabel yang terus dicari hubungan tarik-menariknya. Keduanya yakni antara pembangunan dengan permasalahan ekologi yang mungkin timbul akibat dari sebuah pembangunan yang terjadi.
Diskusi yang diselenggarakan pada Kamis (21/5) pagi ini mengambil judul “Menebus Ongkos Pembangunan: Gelombang Resistensi Menentang Bencana Ekologi”. Diskusi yang diselenggarakan di Hall Selasar Barat Fisipol ini menghadirkan dua dosen UGM dari Fisipol dan Fakultas Teknik serta dua mahasiswa sebagai narasumber. Adalah Didit Hadi Barianto, M.Si., D.Eng, merupakah dosen Teknik Geologi dan AB WIdiyanta, MA merupakan dosen Sosiologi. Di sisi mahasiswa diskusi mengundang dua mahasiswa yang juga aktif terutama dalam membantu mengurangi permasalahan lingkungan. Keduanya yakni, Karolina Yemima (DIvisi Pengabdian Masyarakat, KMS) dan Abdullah Faqih (Pemenang dari Youth4Asia Solution Search di Korea Selata).
Dari kedua mahasiswa dalam diskusi tersebut lebih banyak bercerita mengenai pengalaman mereka dalam lingkup yang lebih kecil, dan terutama dalam usaha meminimalisir dampak dari ‘pembangunan’ dan bencana ekologi.
Menurut Karolina, salah satu hal yang menjadi fokus perhatian dirinya adalah mengkampanyekan penggunaan kertas minimali atau paperless baik dilingkungan kampus hingga tingkat mahasiswa (individu). Menurut perkiraan yang coba dibabar oleh Olin, begitu ia disapa, pengguaan kertas di lingkungan kampus saat ini tiap minggunya bisa menghasilkan sampah kertas hingga tingkat rim padahal hal ini baru untuk satu unit kerja. Untuk itu, dalam kasus ini, harusnya kertas bisa digunakan dua kali bolak-balik supaya lebih hemat dalam menggunakan. Selain itu, ia dan teman-teman mengadakan upaya sumbang kertas bekas yang nantinya akan diolah lagi dan hasilnya untuk membiayai kegiatan di sebuah desa.
“Project ini merupakan upaya kami untuk melakukan aksi recycle dan reuse dalam menggunakan kertas. Intinya, supaya lebih sadar sama praktik-praktik kecil yang ternyata mempengaruhi lingkungan,” tutur mahasiswa Sosiologi ini.
Hampir mirip dengan Olin, Faqih dan tim saat ini sedang melaksanakan program Garbage Clinical Insurance. Kegiatan ini muncul setelah ia melihat banyaknya anak-anak yang meninggal karena tidak bisa mengakses kesehatan. Uniknya, masyarakat yang ingin bisa berobat di klinik ini harus menyerahkan sampahnya senilai 1$/bulan. Dengan kegiatan ini, menurut Faqih selain bisa meminimalisir sampah sekaligus juga bisa meningkatkan kesehatan masyarakat.
“Nantinya, masyarakat yang belum mampu mengakses kesehatan ini bisa mengaksesnya lewat program ini. Selain mudah, dan murah karena hanya menggunakan sampah senilai 1$/bulan, akses kesehatannya pun mulai dari sebelum hingga proses rehabilitatif masalah kesehatan,” ungkap Faqih.
Sementara itu, Didit lebih lebih banyak menyoroti masalah pembangunan yang salah kaprah karena pemerintah belum mampu memhamai sehingga berakibat pada kegagalan pembangunan. Dari sudut pandang seorang geolog, ia menggambarkannya menggunakan segitiga faktor dalam hal pembangunan, yakni soal proses pembangunan itu sendiri, kerusakkan lingkungan dan juga sumber daya alamnya. Proses perimbangan ketiganya menurut ahli geoglogi sejarah ini menyebabkan tiga masalah utama dalam pembangunan.
“Ada tiga masalah utama jika kita bicara pembangunan di Indonesia. Pertama, kesalahan perencanaan yang tidak memperhitungkan sumber bencana. Kedua, kesalahan memaknai bencana itu sendiri. Terakhir, kesalahan pengambilan keputusan,” tutur Didit.
Kesalahan-kesalahan tersebut menurut dia salah satunya karena pemerintah tidak memiliki peta besar atau grand design pembangunan saat ini. Ia mencontohkan dalam pembangunan setidaknya diperlukan terlebih dahulu proses inventarisasi mengenai peta-peta sumber daya alam, kebencanaan hingga peta persebaran pagunungan dst. Sayangnya, hingga saat ini proses inventarisasi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah belum juga terlaksana secara penuh. Dari total ratusan peta geologi, baru ada beberapa peta yang sudah terlaksana itupun masih kurang memenuhi syarat. Dengan kata lain, dalam hal ini dari pembangunan yang sedang dilaksanakan saat ini masih belum memperhatikan faktor ekologisnya.
Sementara itu, AB Widianyanta lebih menyoroti segi sosial kemasyarakatan dari sebuah pembangunan. Menurutnya, pembangunan saat ini lebih mementingkan faktor kepentingan manusia dan rasionalitas dalam soal pembangunan daripada soal ekologinya. Hal ini terlihat dari adanya pembangunan yang seringkali lebih banyak mempertimbangkan faktor ekonomis (keuntungan) ketimbang faktor komunal. Hal itu, sangat terlihat misalnya dari pembangunan properti yang masih dan tidak memberi ruang pada lingkungan dan bahkan seringkali mengabaikan lingkungan.
Hal tersebut bisa terjadi lantaran saat ini ekonomi lebih banyak diakuisisi oleh ekonomi yang sangat neoliberal sehingga mengeksploitasi lingkungan lebih diutamakan untuk memenuhi hasrat manusia.
“Biang kerok dari pembangunan hari ini adalah cara pandang manusia bahwa alam harus digunakan untuk memenuhi hasrat manusia. Dari cara pandang demikian tentu saja memperburuk proses pembangunan kita, apalagi nilai-nilai kolektivitas dan komunitas sudah mulai ditinggalkan,” tandasnya. (D-OPRC)