Tanggal 20 Mei lalu kita memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tepat pada tanggal itu, 107 tahun sebelumnya, berdiri organisasi bernama Boedi Oetomo. Berdirinya Boedi Oetomo, yang juga menurut beberapa sejarahwan merupakan organisasi pertama di Indonesia, dijadikan sebagai titik tolak bangkitnya rasa nasionalisme di Nusantara. Sayangnya, hari-hari ini ‘heroisme’ kebangkitan nasional tak lagi mulai tampak. Sisi seremonial tiap tanggal 20 Mei lebih banyak dirasakan daripada segi substansial.
Pendapat tersebut muncul dalam sebuah acara bertajuk Youthnesia: Care to Act Dare to Change pada Rabu (27/5) siang. Acara yang diselenggarakan di Taman Sansiro Fisipol ini mendatangkan tiga narasumber (penanggap) yakni, Dr. Najib Azca, MA, (Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni dan Penelitian), Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), dan Adhitya Herwin (Mantan Ketua BEM KM UGM 2014).
Menariknya acara yang diselenggarakan oleh Yousure ini mengambil format penyataan/pertanyaan dan kemudian narasumber memberikan tanggapannya. Format tersebut mirip salah satu bagian dari sebuah acara debat. Pertanyaan/pernyataan tersebut didapatkan setelah panitia beberapa hari sebelumnya meminta pendapat dan mengumpulkan pertanyaan dari mahasiswa baik secara online maupun langsung mengenai Kebangkitan Nasional.
Salah satu pernyataan menarik dilontarkan oleh Yusak. Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2014 itu mempertanyakan kembali urgensi Kebangkitan Nasional hari-hari ini, mengingat jauh 107 tahun sebelumnya kita telah mengalami kebangkitan.
Menanggapi pernyataan Yusak, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang akrab dipanggil Noe berpendapat bahwa kebangkitan nasional masih diperlukan dengan catatan. Menurutnya kebangkitan kembali masih diperlukan tentu saja dengan mempertimbangkan tujuan dari kebangkitan itu sendiri. Maka sudah selayaknya ‘kebangkitan’ harus terus diperbaharui maknanya tentu berlandaskan dengan tujuan jelas dalam kondisi masyarakat yang dinamis.
“Akan lebih baik kalau tujuan dari sebuah kebangkitan perlu untuk dirumuskan guna menjawab dinamika yang terjadi. Badai pasti berlalu dan hari yang cerah juga pasti berlalu,” ungkap Sabrang.
Berbeda dengan Sabrang, Dr. Najib lebih menekankan pada perlunya kita merespons dahulu sebelum membicarakan kebangkitan. Dalam hal ini, merespons sebelum membicarakan kebangkitan dengan tujuan untuk mencari tahu tantangan yang ada dan sedang kita hadapi. Nantinya hal itu berguna untuk menjawab urgensi sebuah kebangkitan. Perlunya merumuskan pertanyaan yang benar dahulu untuk menjawab akan kangkitan itu sendiri menjadi agenda utama.
“Sebelum kita menjawab perlunya kebangkitan, akan lebih baik kita melihat kembali tantangan yang kita hadapi. Jawaban yang baik dan benar juga harus diawali dengan pertanyaan yang baik dan benar,” tutur dosen Jurusan Sosiologi ini.
Pendapat kedua dikemukan oleh Niqla, mahasiswi Teknik Industri 2010. Ia mempertanyakan, bagaimana seharusnya pemuda dapat menjadi lokomotif perubahan yang heroik? Lalu pada sektor manakah yang paling strategis bagi pemuda untuk mengawali perubahan?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Adhitya Herwin berpendapat, dalam konteks pemuda atau secara khusus mahasiswa sektor pendidikan harusnya menjadi sektor utama dalam rangka menjadi lokomotif perubahan. Ia mencontohkan pada tataran akademis, pemuda bisa memulai lewat melakukan penelitian yang tentu saja bermanfaat bagi masyarakat.
“Bagi pemuda, wilayah pendidikan seharusnya menjadi sektor utama. Terutama untuk mengawali sebagai lokomotif perubahan. Paling konkrit, salah satunya mahasiswa lewat hasil-hasil penelitian mereka yang punya manfaat bagi masyarakat banyak,” tutur mahasiswa Pertanian ini.
Sementara itu, Dr. Najib lebih menekankan pada aspek peningkatan kapasitas individu. Pada dasarnya sektor manapun bisa dimasuki oleh pemuda. Yang paling penting baginya adalah setiap pemuda harus menjadi pribadi yang kompeten, tekun, kredibel dan visioner. Selain kuat secara pribadi, Dr. Najib juga mengingatkan para pemuda dalam memperkuat diri sendiri perlu juga pemahaman akan nilai-nilai kebersamaan atau kolektivitas.
“Lebih daripada itu, kemampuan atau peningkatan kapasitas individu tersebut harus berada dalam kerangka kolektivitas bersama. Nilai tersebutlah yang kemudian nantinya bisa menyatukan tujuan bersama bagi pemuda untuk ambil bagian demi kemaslahatan publik,” sebutnya.
Menanggapi penyataan Niqla, Sabrang lebih banyak berbicara mengenai perlunya para pemuda untuk bisa mengubah belief system mereka. Dalam hal ini, para pemuda ini harus mampu mendefinisikan diri merumuskan tujuan mereka sendiri dalam konteks kebangkitan nasional.
“Para pemuda harus memilih ingin menjadi generasi penerus, generasi pendobrak atau genereasi pembaharu. Pilihan tersebut tentu saja harus dilandaskan dengan pertimbangan tujuannya,” ungkap mantan vokalis Letto ini. (D-OPRC)