Fenomena munculnya acara talkshow dalam layar televisi hari-hari ini sangat sering kita jumpai. Dulu, acara talkshow hanya memiliki fungsi menghibur. Hari ini acara talkshow justru digunakan untuk membawakan acara politik yang notabene memiliki bobot ‘tema berat’. Fenomena ini tak ubahnya merupakan tanda bahwa proses komunikasi politik sedang mengalami pergeseran. Ditambah lagi dengan semakin terbukanya ruang kebebasan dan daya dukung industri media massa pergeseran tersebut kian nampak. Fenomena penyatuan hal serius dan menghibur ̶ dalam hal ini menghadirkan isu politik serius namun dibahas dalam bentuk dan format hiburan ̶ menghadirkan anomali atas aspek manifestasi teks dan aspek representasi kepentingan pada waktu yang sama.
Hal itu diungkapkan oleh Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Dr. Muhamad Sulhan, S.I.P, M.Si. ketika mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka yang berjudul Homo Ludens dalam Talkshow Bertema Politik: Analisis Naratif atas Kontestasi dan Representasi Kepentingan Politis dalam Talkshow Kick Andy-Metro Tv Tahun 2009 pada Selasa (16/6) pagi. Ujian terbuka tersebut dilaksanakan di R. Seminar Timur, Gd. Pascasarjana Lt. 2 Fisipol dengan dihadiri sekitar 100an tamu undangan.
Dalam ujian tersebut, Dr. Sulhan membeberkan mengapa fenomena ‘pengabungan’ dua unsur yakni serius dan hiburan tersebut dalam acara talkshow merupakan anomali pada hari ini. Pertama, dalam sebuah acara talkshow narasumber yang akan membicarakan tema politik akan ‘dikondisikan’ agar nanti bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh host. Tentu saja, pertanyaan yang akan coba dilontarkan sebisa mungkin adalah pertanyaan yang sensitif secara isu maupun sensitif bagi narasumbernya. Kedua, anomali selanjutnya ditandai dengan semakin eratnya hubungan antara format atau bentuk acara talkshow dengan dunia politik. Pemanfaatan acara talkshow sebagai medium penyampaian pesan baik berbentuk ide atau gagasan politis yang sedikit banyak terdeteksi sebagai bagian dari manipulasi. Tentu saja manipulasi tersebut dilakukan oleh sang tokoh politik. Dengan kata lain, terjadi pemanfaatan talkshow sebagai medium untuk membentuk gambaran positif seorang tokoh politik.
Pemanfaatan acara seperti talkshow tersebut selain mampu membentuk gambaran positif juga sebagai medium strategis bagi tokoh politik untuk mencapai posisi tertentu. Masuknya kepentingan politik yang dibungkus dengan kesan humanis itu meski demikian menampilkan keunikannya tersendiri. Alih-alih stasiun televisi mampu mendongkrak rating melalui acara talkshow politik ini di satu sisi, tokoh politik menggunakan hal tersebut sebagai ‘panggung’ untuk kepentingan pencitraan dirinya. Tepat pada titik itu, terjadi simbiosis mutualisme antara stasiun televisi dan tokoh politik.
Pada proses dialog yang terjadi dalam acara talkshow ini sang tokoh politik dengan cerdik memainkan peran dengan balutan humanis untuk ‘menjual diri’ dan gagasan politisnya kepada penonton. Dengan masuknya kepentingan dalam acara talkshow, menyebabkan makna politik menjadi bergeser yang dahulu bernuansa serius dan berat menjadi sekadar permainan akting sang tokoh untuk menyakinkan banyak orang. Seperti diungkapkan John Huizinga, bahwa pada abad ini aspek serius dalam kehidupan manusia telah bergeser menjadi sebuah aktivitas permainan (ludens). Artinya, manusia sebagai praktisi atau pelaku politik telah mengubah makna politik sebagai aktivitas yang serius dan berat menjadi hanya sekadar kegiatan bermain, bahkan bermain-main. Huizinga menyebut adanya fenomena ini sebagai fenomena manusia bermain (homo ludens). (D-OPRC)