Pada beberapa tahun ini perhatian Pemerintah Indonesia mulai ditujukan pada daerah-daerah pinggiran dan terluar Indonesia. Alasannya sederhana, masa depan Indonesia ada di daerah-daerah tersebut. Apalagi, mengingat akhir tahun ini Indonesia sudah memasuki pada era Masyarakat ASEAN persiapan harus sudah matang terutama daerah-daerah pinggiran dan terluar. Dalam hal ini, perlunya melihat kesiapan Indonesia secara nasional dan daerah secara khusus dalam menyongsong hadirnya Masyarakat ASEAN pada akhir 2015. Lebih jauh, penting juga mengkritisi apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk merespon hal ini. Selanjutmya selain menjadi peluang bagi kemajuan Indonesia, sebaliknya Masyarakat ASEAN bisa menjadi hambatan bagi jika tidak dikelola dengan baik.
Dalam rangka melihat kesiapan Indonesia dalam menjalani Masyakarat ASEAN, Kamis (5/11) pagi Keluarga Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik bekerja sama dengan Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk ASEAN menyelenggarakan Seminar Nasional Public Action 2015. Seminar yang bertajuk Peran Daerah melalui Tiga Pilar sebagai Penunjang Indonesia dalam Perhelatan ASEAN Community ini bertempat di Auditorium Magister Manajemen. Seminar ini menghadirkan tiga narasumber utama sebagai pembicara utama. Pertama, adalah Dr. Rahmat Pramono yang merupakan Duta Besar Indonesia untuk ASEAN, kedua, ada Dr. (H.C) Oesman Sapta Odang sebagai Wakil MPR RI terakhir Prof. Yeremias T. Keban dosen Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik.
Menurut Rahmat Pramono, ada tiga hal yang menjadi pilar dalam kerjasama antar negara ASEAN dan khususnya bagi teruwujudnya Masyarakat ASEAN. Ketiganya yakni, dalam bidang politik dan kemanan, ekonomi dan sosio budaya. Ketiga pilar kebijakkan tersebut sampai sejauh ini, menurut Rahmat sudah terwujud lebih dari 90%. Meski demikian, menurutnya ketiga kebijakkan tersebut tidak bisa berdiri sendiri.
Selain tiga pilar tersebut, Rahmat mencoba membeberkan tiga isu penting dalam menyongsong masyarakat ASEAN terutama bagi Indonesia. Pertama, isu mengenai perdagangan bebas (liberalisasi). Sebenarnya untuk Indonesia proses ini sudah berlangsung sejak 2010 dengan 5 negara ASEAN lainya.
“Proses liberalisasi perdagangan di Indonesia sebenarnya sudah terjadi semenjak tahun 2010 dengan 5 negara lainya. Hanya saja, banyak yang belum tahu bahwa baru akhir tahun ini semua negara anggota ASEAN melaksanakannya,” ujarnya.
Kemudian, Rahmat melanjutkan, dalam hal ekonomi perdagangan saat ini Indonesia sudah menerapkan 0-5% tariff. Meski hambatan tariff sudah berhasil di atasi, hambatan non tariff harus menjadi perhatian.
“Dalam isu perdagangan, Indonesia sendiri sudah melaksanakan kebijakan hampir 0% tariff bagi negara-negara ASEAN. Tetapi sayangnya belum didukung dengan insfrastruktur yang baik,” ungkapnya.
Selanjutnya, Rahmat juga menyinggung adanya mobilisasi pekerja di negara-negara yang melaksanakan Masyarakat ASEAN termasuk Indonesia. Saat ini isu tersebut masih sedang dalam pembahasan terutama terkait adanya standarisasi pekerja, udang-undang perlindungan, hak dan kewajiban bagi pekerjanya. Untuk itu, Indonesia bersama dengan PBB sedang mendorong deklarasi tenaga kerja migran.
“Saat ini, isu mobilisasi pekerja menjadi bahan diskusi penting terutama bagi Indonesia. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mengirim pekerjanya di tingkat ASEAN,” katanya.
Sementara itu, menurut pandangan Prof. Yeremias menanggapi isu Masyarakat ASEAN, Indonesia harus lebih berhati-hati. Pasalnya, dalam kasus perdagangan misalnya, saat ini Indonesia hanya menjadi pasar bukan menjadi produsen. Apalagi, saat ini tingkat ketergantungan Indonesia dengan negara lain cukup tinggi.
Tambahan pula, masih banyak masyarakat dan juga pemerintah terutama di daerah yang masih belum mengenal Masyarakat ASEAN.
“Masyarakat ASEAN itu oke, tapi Indonesia harus berhati-hati. Karena masih banyak ternyata masyarakat dan pemerintah daerah sendiri yang belum tahu akan dilaksanannya Masyarakat ASEAN,” ungkapnya.
Menyinggung masalah isu mobilisasi pekerja, jika tidak ditangani secara serius Prof. Yeremias mengkhawatirkan terjadinya mobiliasasi pekerja Indonesia yang berkualitas ke negara ASEAN yang dinilai lebih layak. Meski demikian, perlu dicatat bahwa pekerja-pekerja di Indonesia yang melakukan migrasi ternyata lebih banyak dengan kualitas unskill labour daripada skilled labour.
Pun demikian, Prof. Yeremias mengatakan bahwa kondisi di daerah-daerah sebenarnya masih menyisakan beberapa permasalahan seperti pungli, Perda yang membebani hingga perburuan rente menjadi hambatan tersendiri. Di sisi yang lain, konflik antar daerah masih sering terjadi dalam kerangka desentralisasi misalnya dalam pengelolaan resources.
Apalagi, Prof . Yeremias menilai proses politis di daerah masih dinilai kuat, jangan sampai Masyarakat ASEAN menjadi proyek baru bagi elit-elit di daerah. (D-OPRC)