Ditulis oleh Satria Aji imawan
Agenda reformasi birokrasi sering kali berjalan di tempat. Padahal birokrasi bukanlah perangkat yang statis melainkan dinamis menyesuaikan diri terkait dengan tantangan jaman. Kita tahu bahwa birokrasi pada masa tradisional dan kolonial memiliki perbedaan corak kerja dengan birokrasi pada masa Indonesia modern (Agung, A. A. G. P. (2001). Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Pustaka Pelajar). Oleh karenanya, birokrasi harus berubah tidak hanya pada tataran sistem, tetapi juga pada tataran individu. Persoalannya, apakah perubahan manajemen pemerintahan sekarang ini membuka ruang bagi birokrasi untuk memperbaiki dirinya?
Sebagai bagian penting dari pemerintahan, sudah selayaknya apabila birokrasi berubah tergantung dengan tantangan dari pemerintahan maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini tantangan berbangsa dan bernegara semakin menguat seiring dengan semakin kompleksnya pembuatan kebijakan publik. Cara pandang kebijakan publik pada medio 1970-80an lebih mengedepankan pemerintah sebagai pihak yang membuat kebijakan, dimana masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi berperan sebagai pemberi masukan kepada pemerintah (Almond, G. A., & Powell, G. B. (1978). Comparative Politics: System, Process, and Policy. Little, Brown) tidak lagi relevan.
Cara pandang bahwa pemerintah merupakan satu-satunya aktor pembuat kebijakan disebut dengan cara pandang pemerintah (government). Dewasa ini, cara pandang tersebut bergeser menjadikan pemerintah sebagai salah satu aktor dari pembuatan kebijakan publik di samping masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Cara pandang ini disebut dengan cara pandang kepemerintahan (governance). Apabila cara pandang pemerintah menekankan pada kemampuan satu aktor, maka cara pandang kepemerintahan menekankan pada proses tiga aktor (pemerintah, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi) dalam membuat kebijakan.
Lantas, apa hubungannya dengan birokrasi? Tantangan pembuatan kebijakan bersinggungan dengan perubahan posisi negara dalam pembuat kebijakan. Tentu birokrat tidak dapat menggunakan cara pandang government apabila realitas pembuatan kebijakan mengedepankan governance. Tantangan ini akan semakin berat kala proses pembuatan kebijakan lebih kompleks dengan menekankan pada beberapa lapis proses kepemerintahan (multi-level governance).
Sebenarnya peluang untuk membuat birokrasi lebih berdaya cukup terbuka luas. UU 22/1999 dan UU 32/2004 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah telah membuka ruang bagi daerah untuk berkontribusi lebih dalam pembangunan. Ide dasarnya adalah mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat. Hal ini penting juga untuk mendorong reformasi birokrasi di daerah mengingat masyarakat lebih bisa dekat untuk mengkontrol pemerintahan.
Persoalannya, apakah dengan mendekatkan birokrasi ke masyarakat, maka akan membuat reformasi birokrasi berjalan. Tidak serta merta seperti itu, sebab ada variabel lain yang cukup berpengaruh yakni budaya organisasi. Mendekatnya proses pelayanan dan kontrol masyarakat memang dapat mendorong perubahan apabila didorong pula oleh masyarakat yang aktif mendorong reformasi birokrasi. Nyatanya hal tersebut tidak serta merta membuat demokrasi yang dibangun dengan masyarakat yang aktif muncul. Oleh karenanya, budaya organisasi menjadi kunci penting bagi reformasi birokrasi. Baik pada tataran aparat birokrasi maupun pada tataran sistem.
Kita tentu masih ingat dengan perkataan ”menurut petunjuk Bapak Presiden” yang cukup populer pada masa Pemerintahan Orde Baru. Kata-kata tersebut nampaknya cukup untuk menjelaskan bekerjanya birokrasi dewasa ini. Salah satu ciri dari birokrasi di Indonesia adalah ketidak beranian untuk mengambil keputusan. Birokrat lebih memilih untuk berlindung di balik atasan atau sistem/prosedur. Akibatnya, proses administrasi menjadi sangat lama karena saling melempar tanggung jawab apabila pejabat yang berwenang tidak hadir. Padahal acap kali urusan-urusan yang ditangani tidak begitu membingungkan.
Oleh karenanya, persoalan pembangunan di daerah tidak dapat dilepaskan dari kemampuan birokrasi untuk berubah. Otonomi daerah tidak diikuti dengan peningkatan kompetensi dan perubahan cara pandang birokrat. Praktek-praktek lama yang mengedepankan relasi bapak-anak dalam birokrasi sudah tidak dapat lagi dipelihara. Idealnya, masyarakat harus kian giat untuk mendorong perubahan di dalam birokrasi agar lebih transparan dan dapat dipercaya. Jangan sampai rakyat kembali dikorbankan dengan praktek kotor korupsi di birokrasi dengan dalih ”toh, sudah sesuai prosedur”.
*) Satria Aji Imawan, Alumnus Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada