Pentas teater pra-lakon berjudul Masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru oleh Teater Gadjah Mada yang sedianya akan digelar pada Sabtu (12/12) di Hall Selasar Barat Gedung FISIPOL malam tak jadi terlaksana. Pentas pra-lakon yang merupakan salah satu bagian dari rangkain acara dari Dies Natalis FISIPOL 60 ini awalnya akan dimainkan sesuai rencana namun karena melihat banyaknya protes dan tekanan dari berbagai pihak diurungkan untuk dipentaskan. Akhirnya, sebagai bentuk protes Teater Gadjah Mada dengan bantuan para penonton melakukan aksi pembongkaran panggung.
Sebelumnya, Teater Gadjah Mada juga telah mengeluarkan surat klarifikasi terkait poster pentas pra-lakon dan pentas pra-lakon yang dikaitkan dengan isu Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) tersebut. Dalam surat itu, Teater Gadjah Mada mengklarifikasi bahwa poster yang tersebar melalui media sosial terutama yang bergambar dua orang perempuan berhadap-hadapan sehingga seperti akan melakukan adegan ciuman bukan merupakan poster resmi pentas tersebut. Kemudian, Teater Gadjah Mada juga mengklarifikasi isu yang beredar bahwa pentas pra-lakon tersebut bukan merupakan pentas yang berkaitan dengan isu LGBT.
Sementara itu, dalam penjelasannya sebelum melakukan aksi bongkar panggung, Irfanueddin Ghozali yang merupakan sutradara pentas teater menjelaskan bahwa pentas teater pra-lakon ini merupakan hasil dari pembacaan ulang terhadap novel yang juga telah digubah dalam bentuk film milik Ashadi Siregar yang berjudul Cintaku di Kampus Biru. Dalam novel tersebut ia menemukan fenomena atau nilai yang hingga sekarang masih terjadi atau relevan meski novel tersebut telah ada selama kurang lebih 30 tahun. Fenomena tersebut diwujudkan dengan keterjebakkan para mahasiswa pada persoalan internal dan dirinya sendiri dengan bumbu cinta-cintaan padahal pada tahun-tahun setelah diterbitkannya novel tersebut muncul kebijakkan NKK/BKK.
“Novel itu sebenarnya muncul pada saat anak-anak muda mempercayakan harapannya pada rezim yang berkuasa,” ungkap Irfanueddin.
Dilansir dari situs resmi UGM, pentas pra-lakon ini sedianya akan mencoba menangkap dunia anak muda dan lingkungan kampus sebagai dunia mereka. Pementasan teater ini merupakan wujud dari sebuah konstruksi baru yang berubah dan mengambil bentuk baru seiring ditambahkannya alat, metode dan teknik baru. Pilihan praktiknya bercirikan pragmatis, strategis dan refleksi diri. Lebih jauh pementasan ini juga merupakan wujud cinta terhadap UGM yang dalam novel itu disebut sebagai ‘Kampus Biru’.
“Pertunjukkan ini, merupakan tanda cinta untuk ‘Kampus Biru’. Sebuah upacara sosial untuk melakukan relfeksi diri: Masihkan ada cinta d(ar)i ‘Kampus Biru’?” ungkap Taufiq Nur Rahman salah satu panitia pementasan. (D-OPRC)