Departemen Sosiologi dan Youth Studies Centre (Yousure) Fisipol UGM mengadakan diskusi publik yang membahas tentang isu Sunni-Syiah di Sampang dan sektarianisme di ranah digital yang menjadi diskursus identitas sektarianisme Indonesia pada hari Rabu (23/3/2016) di ruang Seminar Timur Fisipol UGM. Diskusi dibuka dengan sambutan oleh Arie Sujito, ketua Departemen Sosiologi UGM.
Acara ini mengundang dua orang peneliti muda dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hafiz Al Asad dan Fiqh Vredian Aulia Ali dari UIN Maliki Malang. Keduanya merupakan peraih MAARIF Fellowship 2015. Menurut Khelmy K. Pribadi, Manager Program MAARIF Institute, Program ini dihelat oleh Maarif Institute untuk mengkader dan memunculkan peneliti-peneliti muda dari kalangan mahasiswa. Tahun ini merupakan kali kedua Maarif Fellowship digelar setelah sebelumya diselenggarakan tahun 2013.
“Tujuan diselenggarakannya Maarif Fellowship ini adalah Pertama, melakukan kaderisasi intelektual pada kaum muda Indonesia untuk menjadi intelektual yang kritis, mencerahkan, dan memihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Kedua, Mewadahi potensi-potensi kreatif anak muda Indonesia untuk turut serta mencari jawaban terhadap berbagai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di tanah air. Ketiga, Memperkuat tradisi riset dan penulisan yang berbasiskan pada metode penelitian yang mumpuni serta pembacaan sumber-sumber yang otoritatif dan diskusi yang intensif serta serius.”terang Khelmy.
Pembahas dalam diskusi tersebut dibawakan oleh Hakimul Ikhwan, Ph.D., dosen Jurusan Sosiologi dan Titik Firawati, MA., dosen Jurusan Hubungan Internasional. Pada diskusi tersebut terdapat beberapa hal yang dipaparkan, seperti maraknya media online yang membahas tentang isu sektarian di ranah global dan nasional. Media sosial telah menjadi fenomena dalam dunia modern. Namun, media sosial juga menyuguhkan tantangan berat dalam perkembangan toleransi. Media sosial membuat banyak orang lebih cepat menangkap dan memercayai sebuah pemberitaan. Padahal, pemberitaan yang ada belum tentu memiliki kebenaran. Karena itu, penting untuk memberikan edukasi kepada para pengguna media sosial bahwa pemberitaan yang tersebar atau disebarkan tidak selalu merupakan fakta. Bahkan, acap kali pemberitaan yang beredar di media sosial memicu atau meningkatkan konflik.
(Nuna)