Sociology Research Center (SOREC) Departemen Sosiologi Fisipol UGM berkolaborasi dengan Ghent University mengadakan kuliah umum yang memaparkan riset dengan judul “I am nobody : Grievances, Organic Members and The MILF in Muslim Mindanao”. Acara yang diadakan pada hari Selasa (5/4/2016) di Ruang Seminar Timur Kampus Fisipol UGM tersebut, diisi oleh Dr. Jeroen Adam, Assistant Professor, Coordinator Conflict Research Group of Ghent University Belgium dan dimoderatori oleh Dana Hasibuan, M.A, dosen Sosiologi UGM.
Diskusi ini membahas tentang keberadaan Moro Islamic Liberation Front (MILF) atau Front Pembebasan Islam Moro di Mindanao, Filipina yang dikaji melalui berbagai perspektif. Kajian terkait konflik yang terjadi di Muslim Mindanao Filipina telah mengalami banyak perubahan pada literatur-literatur selama sepuluh sampai lima belas tahun terakhir. Sementara pertanyaan sekitar kekerasan dan ketidakamanan telah difokuskan pada kelompok-kelompok bersenjata terkenal seperti MILF dan Moro National Liberation Front (MNLF) serta sikap mereka pada pertanyaan otonomi/kemandirian. Baru-baru ini, berbagai penelitian yang muncul berusaha membawa variabel baru tentang penyebab sehari-hari kekerasan dalam komunitas Muslim tersebut. Isu-isu seperti pilkada, konflik tanah atau perzinahan mulai mewarnai kajian konflik pada Muslim Mindanao.
Menjadi catatan dari hasil kajian ini, bahwa MILF perlu dipahami secara luas bukan hanya sebagai kelompok bersenjata, melainkan mereka adalah gerakan sosial yang sengaja dibentuk untuk mengaktualisasi kepentingan warga Muslim Mindanao di Filipina. Komponen sosial yang selama ini berhasil dikombinasi dengan kapasitas koersif yang cukup, telah menyukseskan MILF dalam membangun basis dukungan di antara populasi Muslim Mindanao yang sarat dengan segmentasi klan. Dukungan ini dibuktikan oleh kepercayaan berbagai organisasi yang meletakkan profil MILF sebagai pemerintahan alternatif dan kredibel. Lebih khusus, dalam arena rekonsiliasi dan penyelesaian sengketa, berbagai organisasi yang mengakar dari dulu bisa longgar berafiliasi dan telah berusaha untuk membangun hubungan impersonal dan netral dimana permusuhan intra-muslim yang sangat memecah belah dapat menetap. Dengan demikian, terdapat interaksi yang dinamis antara ‘inti’ MILF dan berbagai organisasi akar rumput yang terafiliasi dimana penting bagi pertumbuhan MILF.
Kedua, posisi MILF sebagai alternatif pemerintahan yang kredibel tidak dapat dipisahkan dari figur elit yang sangat memaksa dengan basis kehidupan sosial-politik feudal di Mindanao. Meskipun MILF sangat berhati-hati dan cenderung terbuka untuk menantang kewenangan pusat, akan tetapi MILF banyak mendapat dukungan dari akar rumput baik secara legitimasi atau konsepsi kesetaraan yang selama ini menjadi prinsip perjuangan MILF di wilayah Mindanao. Satu sisi, MILF yang menjadi salah satu basis gerakan social di Mindanao memiliki misi untuk menyuarakan kepentingan daerah ke pusat, di sisi yang lain MILF juga turut memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan di daerah yang selama ini dianggap masih mengitari kuasa politik feudal di daerah Mindanao. Menurut Adam, MILF juga secara tidak langsung berupaya membangun nilai-nilai demokratis di Mindanao yang umumnya tersegmentasi oleh klan-klan social. MILF berhasil hadir sebagai alternatif pemerintahan yang kredibel dalam melawan sistem politik korup yang dikendalikan oleh elit-elit hasil pemilu demokrasi. [Nuna/Irwan]