Pembuatan sebuah film yang melibatkan banyak pihak dan harus memperhatikan banyak detail selalu menarik untuk dibahas, karenanya Fisipol UGM menggelar Talkshow “Di Balik Profesi” bersama para sineas Film Wonderful Life pada Jumat (13/10) lalu. Acara yang diselenggarakan di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM menghadirkan produser film kondang, Angga Dwimas Sasongko dan sutradara Agus Makkie. Karena Wonderful Life merupakan film yang disadur dari novel berdasar kisah nyata yang ditulis Amalia Prabowo (Alumni Departemen PSdK Fisipol UGM) maka dalam kesempatan tersebut, turut hadir pula Amalia Prabowo.
Talkshow berdurasi dua jam itu membahas apa saja yang perlu diperhatikan dalam pembuatan film dan bercerita tentang profesi di balik layar, khususnya dalam film Indonesia terbaru berjudul Wonderful Life. Tema yang diangkat dalam film yang dibintangi aktris Atiqah Hasiholan dan Sinyo ini adalah perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya yang menyandang disleksia, gangguan yang menyulitkan seseorang dalam membaca maupun manulis. Amalia Prabowo, sebagai orang yang mengalami langsung hal tersebut menuturkan bahwa film Wonderful Life ini sekaligus memiliki misi edukasi kepada masyarakat tentang adanya gangguan diseleksia. Menurutnya, diseleksia masih belum banyak dipahami masyarakat luas sehingga pengidap diseleksia sering dianggap bodoh, padahal tidak demikian karena diseleksia dapat terjadi pada segala tingkatan intelegensia baik tinggi maupun rendah. Melalui Wonderful Life, Amalia yang sekaligus merupakan Chairwoman HAVAS World Wide Indonesia, ingin mengajak masyarakat luas untuk ‘menemani’ anak-anak penyandang diseleksia dalam mengembangkan bakat yang dimiliki dan tak melihat prestasi anak hanya dari sisi akademis semata. Hal itu, sesuai dengan tagline film ini: “Karena setiap anak terlahir sempurna!” Seperti putranya, Aqil, penyandang diseleksia dalam film ini yang ternyata memiliki bakat menggambar.
Agus Makkie, sang sutradara mengungkapkan bahwa film yang dapat ditonton oleh semua umur ini tidak disajikan terus-menerus tentang kesedihan atau duka, namun memilih membuat film ini lebih ‘tegar’. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa masalah dalam hidup tak dapat diatasi dengan kesedihan berlarut-larut, namun perlu dihadapi dengan berbesar hati. Sementara Angga Dwimas Sasongko menuturkan bahwa konsep Wonderful Life adalah road movie yang mencoba menjadikan lokasi pengambilan gambar se-natural mungkin sehingga penonton tetap fokus pada pemainnya dan tidak hanya terpukau oleh setting lokasi saja.
Selain berbagi tentang film Wonderful Life yang tayang serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada hari yang sama dengan ketika talkshow ini digelar (13/10), para sineas ini juga berbagi bagaimana penempatan brand yang baik dalam sebuah film, pengelolaan keuangan, dan manajemen sebuah film. Angga Dwimas Sasongko juga memotivasi peserta yang tertarik dengan dunia perfilman untuk menggeluti film sejak sekarang. Ia juga menambahkan bahwa kiblat film Indonesia bukan melulu Jakarta, namun Jogja dan Makassar justru berpotensi untuk mengembangkan film lokal dengan memanfaatkan budget yang dimiliki untuk memaksimalkan kreativitas. Angga mencontohkan sineas Makassar yang membuat Film Uang Panai dengan artis lokal dan diputar di bioskop Makassar saja namun meraih pendapatan yang begitu besar. Angga berharap, dari talkshow ini akan lahir seniman-seniman film yang kreatif di Jogja. (Nurul)