“Definisi kelas menengah sulit kita jumpai maknanya secara kajian,” kata Wasisto Raharjo Jati yang merupakan penulis buku Politik Kelas Menengah Islam. Moderator dalam bedah buku ini adalah Ulya “Pipin” Jamson yang merupakan peneliti Research Centre for Politics and Government (PolGov) dan Hasrul Hanif (Dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM) sebagai pembahas. Acara diselenggarakan pada Rabu, 29 Maret 2017 di Ruang Seminar Timur dimulai pada pukul 13:00-16:00.
Alasan awal, Wasis (sapaan akrab Wasisto) memilih kelas menengah Muslim sebagai pokok bahasan adalah kajian ini secara pribadi ia tekuni di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selain itu buku ini juga merupakan lanjutan pembahasan dari buku Politik Kelas Menengah Indonesia disusun oleh Richard Tanter yang merupakan buku kompilasi kajian yang dituliskan para akademisi Australia di Monash. Dalam buku tersebut, kajian kelas menengah belum muncul secara rinci yang dibahas ialah perdebatan kelas menengah, orang kaya baru, dan borjuis.
Buku karya Wasisto Raharjo Jati ini hadir untuk menjelaskan secara rinci mengenai kelas menengah dan melihat bagaimana konteks kelas menengah Muslim dalam konstelasi politik Indonesia. Kelas menengah seringkali muncul di terminologi tulisan popular maupun tulisan ilmiah namun belum ditemukan bahasan diskursif definisi kelas menengah. Secara garis besar, buku Politik Kelas Menengah Islam mengikuti dua pola paradigma yang ada dalam kajian sosial politik Indonesia. Pertama, Perspektif Weberian, kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang bertumpu pada kepemilikan properti dan keterampilan yang dimiliki. Artinya, kita bisa melihat kelas menengah itu sebagai kelas masyarakat kelas pekerja tetapi memiliki aset sebagai basis modal sosial yang menjadikan kelompok ini independen, rasional, dan otonom sebagai suatu kelas. Sementara dalam termonologi perspektif Marxian, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang punya dan menggunakan alat produksi, tanpa pekerja. Ini yang menarik, bagaimana melihat kelas menengah dari sudut pandang asketisme dan calling dalam konteks indonesia.
“Secara singkat, sebenarnya buku yang saya susun ini banyak menggunakan perspektif weberian. Perspektif ini yang kemudian saya gunakan dalam pembahasan bab 1 untuk melihat bagaimana konteks weberian itu muncul dalam setiap agama,” jelas Wasis.
Sebelum masuk ke konteks mikro mengenai kelas menengah Muslim, Wasis menganalisis konteks weberian dalam setiap agama. Hal tersebut menjadi basis penulis untuk melihat politik kelas menengah Islam secara makro. Sisi lain kelas menengah Muslim di Indonesia adalah ditemukannya perspektif filantropi (cinta kasih: kedermawanan dan sebagainya, kepada sesama). Selain itu, kelas menengah juga banyak disebut sebagai golongan, karena kelas menengah dependen dengan negara oleh karena itu konteks kelas masih dipahami secara konotatif dan muncul sebagai golongan oposisi seperti Gerakan 212 di Jakarta.
Lalu, siapa sebenarnya kelas menengah Muslim Indonesia? Berdasar buku Politik Kelas Menengah Islam, kelas menengah Muslim Indonesia adalah kelompok kelas menengah yang menggunakan prinsip, norma, dan nilai islam sebagai identitas politik individu dan kelompok yang berkembang sesuai peristiwa politik saat itu. Kelas menengah Muslim ini muncul sebagai bentuk diskriminasi dan alienasi terhadap umat Islam yang kemudian memicu aktivitas borjuasi, edukasi, filantropi sebagai simbol kebangkitan politik. Konteks santrinisasi dan resantrisasi kelas menengah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kelompok kelas menengah Muslim di Indonesia.
Untuk melihat itu, Wasis membagi genealogi dalam tipologi kelas menengah Muslim Indonesia, yaitu:
1. Genealogi dalam Tipologi Kelas Menengah Muslim Indonesia 1.0
Konteks calling dan asketisme dunia menjadi analisis awal melihat kemunculan kelas menengah Muslim Indonesia. Namun adanya konteks filantropi yang membedakan dengan kelas menengah barat. Genealogi awal kelas menengah Muslim Indonesia ditempuh melalui tiga aspek: perdagangan, haji, pendidikan (jaringan dan transmisi). Anggota kelompok kelas menengah kelompok santri, pedagang, muslim dan pemuka agama.
2. Genealogi Kelas Menengah Muslim 2.0
Transformasi “Islam politik” menuju “Islam sipil” dalam kelas menengah Muslim saat orde baru berkuasa. Pembentukan kelas menengah baru dimulai dari jalur intelektualisme dan modernisasi. Gelombang intelektualisme dimulai munculnya kelompok epistemik kampus dan berbasis Masjid. Gelombang modernisasi dimulai dengan munculnya berbagai macam produk syariah dan islami.
3. Genealogi Kelas Menengah Muslim 3.0
Konteks kelas menengah Muslim Indonesia dipengaruhi dua hal: 1. Islam sebagai modal kultural yakni komoditisasi nilai, norma, dan perilaku Islam sebagai modal sosial 2. Islam sebagai praktik kelas yakni upaya menjaga konteks ummah dalam eksklusifitas maupun juga komunalitas. Penerimaan nilai Islam di kalangan kelas menengah Muslim dibagi dua yakni pemahaman emosional/fungsional dan pemahaman spiritual.
Kesimpulan dari buku Wasis, kelas menengah Muslim Indonesia masih berupaya membangun eksistensi dan representasi politis dengan upaya “beradaptasi” dengan modernitas. Peran aktif kelas menengah dalam politik informal justru lebih aktif sebagai kelompok kepentingan maupun kelompok penekan. Simbolisasi Islami itu merupakan bagian soliditas kelompok dalam kesehariannya. (/dbr)