Rabu, 9 Maret 2017 sejak pukul 08.00 seminar nasional bertajuk Musik: Kritik Sosial dan Pembangunan bertempat di Auditorium Perpustakaan Digital Lantai 4 FISIPOL UGM digelar. Menghadirkan pakar-pakar musik yang berkompeten dibidangnya yaitu Andrew N. Weintraub (Professor Etnomusikologi dan Musik Populer University of Pittsburgh), Hempri Suyatna S.Sos, M.Si (Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC)), dan Rizky Sasono (Peneliti Kajian Musik di LARAS – Studies of Music in Society) dan dimoderatori oleh Drs. Adam Titra (Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan).
Memasuki lokasi seminar nasional, peserta disambut dengan pameran beberapa karya penelitian Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) di bidang Corporate Social Responsibility. Kemudian pagelaran buku karya pembicara seperti Dangdut Stories yang ditulis oleh Andrew N. Weintraub. Di lokasi seminar, telinga peserta disambut dengan musik genre dangdut dan keroncong yang membuat mahasiswa semakin antusias terhadap acara suguhan PSdK. Lantunan musik dari alat musik keyboard dan kendang menggema di ruangan, seperti berada di sebuah pesta.
Acara dibuka langsung oleh sang biduan, tak lama lagu-lagu sarat kritik sosial seperti tembang milik Iwan Falls dilantunkan, turut meramaikan seminar nasional. Setelah suguhan musik, peserta digiring untuk mendengarkan pemaparan materi dari masing-masing narasumber. Adam Titra sebagai moderator membuka acara dengan santai, gelak tawa menemani di sepanjang acara seminar.
Seminar nasional ini diselenggarakan Departemen PSdK untuk melihat sejauh mana aktor masyarakat melalui musik hendak mengekspresikan jati dirinya dalam melakukan kontrol sosial. Departemen PSdK mengembangkan tiga fokus kajian yang didasari pada analisis aktor yaitu aktor pemerintah, swasta dan masyarakat sipil. Seminar nasional kali ini, secara khusus membahas bagaimana masyarakat sipil mengekspresikan diri melalui musik untuk melakukan kontrol sosial tersebut.
“Tapi di samping untuk melakukan kontrol sosial dalam konteks relasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah dan swasta, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat sipil juga bersifat horizontal. Bagaimana sesama masyarakat mengajak atau menghimbau masyarakat lainnya misal untuk tidak menyalahgunakan minuman keras atau narkoba agar hidup tetap sejahtera,” ujar Dr. Krisdyatmiko, S.Sos., M.Si. yang merupakan Kepala Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dalam pengantar pada seminar nasional.
Materi pertama disampaikan oleh Andrew N. Weintraub (Professor Etnomusikologi dan Musik Populer University of Pittsburgh), beliau secara singkat menjelaskan tentang Kritik Sosial Melalui Musik: Studi Perbandingan Iwan Fals dan Rhoma Irama. Kritik sosial biasanya disampaikan oleh pemikir, penulis, dan seniman yang berfungsi sebagai pemimpin masyarakat (sebagai intelektual organik). Ide-ide kritik seputar akhlak dan keadilan sosial yang sering mengkritik tatanan sosial yang dominan. Melalui musik (sound/bunyi), lirik dan gaya pertunjukan musisi mampu menggerakkan sebuah perubahan sosial.
Mengapa membandingkan Iwan Fals dan Rhoma Irama? Pada zaman orde baru (1970an-1980an) mereka sangat popular dan popularitasnya cukup lama dibandingkan dengan musisi lain serta berpengaruh sangat besar di dunia music dan budaya Indonesia. Iwan Fals dalam bermusik cerdas mengkolaborasikan beberapa genre seperti folk, blues, rock, country, reggae dan punk. Namun hasilnya, Iwan Fals dikecam oleh Orde Baru karena kritik sosialnya sangat tajam. Bahkan pada tahun 1982, Iwan Fals diinterogasi setiap bulan selama dua hari tentang makna lagunya. Beberapa lagu Iwan Fals yang menuai kecaman yaitu Galang Rambu Anarki, Guru Oemar Bakri dan Surat Buat Wakil Rakyat.
Hasil penelitian Andrew menunjukkan bahwa gaya menciptakan musik ala Iwan Fals banyak melibatkan rakyat kecil diantaranya kuli, anak jalanan dan orang pinggiran. Potret yang sangat emosional disuguhkan dalam karya-karya Iwan Fals, supaya bisa membangun rasa empati dalam hati pendengar pada tokoh dalam lagu. Lirik lagu yang mudah dimengerti dan diingat karena jelas dan tajam dan lebih cenderung pada kepribadian seseorang daripada berslogan politik.
Sedangkan Rhoma Irama identik dengan musik bergenre dangdut. Namun pada awal 1980an, rezim Soeharto memberlakukan pemisahan antara agama dan negara dalam kehidupan bermasyarakat. Selama bergabung dengan PPP, Rhoma Irama dilarang tampil di jaringan televisi dan radio milik negara (TVRI dan RRI). Sejumlah lagunya diharamkan oleh pemerintah, dan kasetnya disingkirkan dari toko-toko. Pada November 1977, video lagu “Hak Azazi”, “Rupiah”, dan “Udang di Balik Batu” dilarang tayang di televisi karena membeberkan masalah sosial, sehingga-menurut Departemen Penerangan-dapat menghasut khalayak dan mengganggu stabilitas negara.
“Pada 1990an, ketika Islam dirangkul secara terbuka oleh Soeharto, Rhoma Irama bergeser mendekati orde baru. Setelah direkonstruksi dan diapresiasi, dangdut kemudian dipinang oleh para pejabat pemerintah sebagai musik Orde Baru, musik yang menurut Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, sebagai musik yang sangat Indonesia,” jelas Andrew.
Rhoma Irama menciptakan musik untuk rakyat. Dalam transisi dari orkes Melayu ke dangdut, Rhoma Irama membidik rakyat dengan mengandalkan musik asing, gaya pementasan fantastis, kostum megah, dan bentuk-bentuk media dan teknologi yang terus berubah. Rhoma Irama menggunakan dangdut sebagai instrumen perubahan. Menurut Rhoma Irama, seniman sama dengan pemimpin bangsa. Pemimpinnya hancur, bangsanya hancur. Jadi kalau kita menyampaikan pesan yang baik, itu tidak akan pernah sia-sia.
Kontribusi nyata berikutnya disampaikan oleh Hempri Suyatna S.Sos, M.Si, beliau menyoroti perkembangan campur sari. Campur sari tumbuh menjadi industri hiburan di daerah-daerah yang secara tradisional dianggap sebagai pinggiran. Manthous/Anto Sugiarto (CSGK Maju Lancar) menjadi pionir pengembangan musik campur sari dengan memasukkan alat musik keyboard ke dalam orkestrasi gamelan sekitar tahun 1993. Cikal bakal sejarah musik campur sari telah dimulai Ki Nartosabdo dengan memasukkan unsur-unsur keroncong pada orkestranya terdiri dari alat-alat musik gamelan. Pada dekade 2000an muncul bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong. Tokoh popular yang mendalami genre musik ini seperti Didi Kempot, Cak Diqin, dan Sony Joz.
Dimensi sosial politik dalam musik popular menurut Rizky Sasono (Peneliti Kajian Musik di LARAS – Studies of Music in Society) mendapat catatan yang signifikan ketika dipergantian rezim. Lagu Genjer-Genjer mendapat stigma sebagai lagu PKI.
“Padahal lagu itu adalah lagu populer hitsnya Lilis Suryani yang dikarang oleh M. Arief memang itu menceritakan tentang kemiskinan bagaimana rakyat menderita terutama di era Jepang. Jadi bagaimana pemerintah membuat atau menempatkan lagu Genjer-Genjer yang lagu populer menjadi sebuah larangan atau objek yang kemudian berafiliasi dengan PKI pada partai yang dilarang. Di transisi orde baru ke reformasi ditandai dengan mekanisme bagaimana musik populer itu berlangsung, seperti darah juang yang menjadi populer yang dipraktekkan bersama oleh para aktivis itu sifatnya kemudian menjadi nasional untuk menyatukan massa lalu berdemo,” ujar Rizky.
Kritik tidak hanya dari bawah ke atas atau atas ke bawah akan tetapi juga datang dari sudut kiri maupun kanan dan sifatnya sangat estetis. Harapan dari diselenggarakannya seminar ini adalah agar mahasiswa bisa belajar bahwa menyampaikan kritik memiliki banyak medium salah satunya adalah melodi dan musik. (/dbr)