Diskusi Bulanan Institute of International Studies (13/4) diadakan kembali dengan menghadirkan Datu Damarjiwo (HI ’15) yang juga merupakan pemenang dari Ambassador1Day Denmark. Datu mengangkat tema mengenai To the Green and Sustainable Energy Future: Indonesia-Denmark Cooperation on Renewable, Self-Sufficient Energy Supply.
Latar belakang dari kerjasama energi antara Indonesia dan Denmark, jika dilihat dari kedua negara tersebut memiliki karakter yang berbeda. Pertama, population size Denmark hanya 5,6 juta, dua kalinya populasi Kota Surabaya dan daya tumbuhnya sekitar 0,4% dan tidak fluktuatif selama beberapa tahun ini. Sedangkan Indonesia, populasinya sekitar 250 juta (45 kalinya populasi Denmark) dan memiliki daya tumbuh 1,2% namun untungnya beberapa tahun terakhir pertumbuhan populasi Indonesia semakin menurun.
“Kedua, jika dibandingkan dua negara tersebut memiliki lokasi geografis yang sama yaitu archipelago akan tetapi luas lokasi Indonesia sendiri hampir empat kalinya Denmark (Indonesia hampir sebesar Eropa) jadi kita bisa lihat seberapa inequal luas wilayah antara Denmark dan Indonesia,” ujar Datu.
Dalam diskusi bulanan ini, Datu lebih lanjut membahas mengenai mengapa Denmark bisa menjadi pionir energi. Dilihat dari jumlah populasinya, keuntungan Denmark salah satunya ialah jumlah populasi yang rendah sehingga konsumsi energi negara tersebut tidak terlalu banyak. Sebagai pionir dari inovasi hijau, Denmark sedang merencanakan transformasi hijau artinya mereka akan mengurangi dependensi terhadap energi-energi tidak terbarukan seperti energi minyak, energi batu bara.
Di tahun 2050, Denmark akan menggunakan energi yang keseluruhannya dari sumber-sumber yang renewable. Jika kita lihat proses transformasi energi Denmark, sejak tahun 1970 sampai 2050 terdapat proses delapan dekade. Bahkan pada tahun 1973 dan 1976 terdapat krisis energi karena ada perang sehingga ketersediaan minyak di Eropa menipis. Berawal dari pengalaman tersebut, Denmark terpaksa berusaha menemukan sumber-sumber energi yang baru karena tidak mau mengulangi kesalahan dengan bergantung terhadap negara lain ketika terjadi krisis.
Beberapa tahun terakhir, Denmark memiliki safety net karena penemuan sumber minyak dan gas yang sampai tahun 2050 dapat menjamin keberlanjutan energi. Akan tetapi yang menjadi fokus Denmark hari ini adalah energi hijau dimana ¼ konsumsi energi Denmark menggunakan energi terbarukan dan 1/3 dari konsumsi energi menggunakan energi angina.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, negara kita memiliki beberapa masalah seperti populasi yang besar serta tingkat pertumbuhan yang tinggi berbanding lurus dengan konsumsi energi Indonesia. Lalu kelas menengah di Indonesia sebagai pengguna energi yang paling besar sehingga permintaan energi meningkat sebanyak 8,5% setiap tahunnya. Misal dihitung, tahun 2025 kebutuhan energi nasional Indonesia hampir sama dengan dua kali kebutuhan energi pada tahun 2015, terdapat peningkatan algoritmik. Hampir semua dari permintaan energi Indonesia dipenuhi oleh sumber-sumber yang tidak renewable seperti energi fosil dan energi batubara. Peningkatan permintaan ini juga tidak seimbang dengan ketersediaan sumber-sumber energi tersebut karena Indonesia terlalu dependen dengan energi-energi tidak terbarukan sehingga jika terus menerus seperti ini Indonesia akan mengalami kelangkaan sumber energi. Artinya, kita juga harus memikirkan berbagai macam resiko seperti resiko lingkungan dan resiko kesehatan.
Selain itu permasalahan lain ialah adanya ketidakseimbangan pertumbuhan energi antara daerah dan pusat. Ada data yang menunjukkan bahwa 15% dari keseluruhan daerah di Indonesia tidak memiliki akses ke listrik sama sekali. Ditambah lagi, inefficicient use energy di sektor-sektor energi sehingga bisa dikatakan Indonesia memiliki problem yang kompleks.
Lalu apa yang dilakukan Indonesia untuk menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut? Indonesia memiliki rencana yang ambisius, beberapa diantaranya ada proyek-proyek hijau. Salah satunya ialah shorterm energy development program yang rencana tahun 2019 mau menambah 35.000 megawatt ke dalam kapasitas produksi nasional. Yang menarik adalah beberapa tahun ini Indonesia sudah bergabung dengan inisiasi hijau global disana Indonesia bergabung dengan COP 21 yang merupakan salah satu leader dimana Indonesia harus mempunyai komitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 41% sebelum 2030.
Padahal mayoritas penggunaan energi Indonesia berasal dari sumber-sumber yang tidak terbarukan. Artinya, Indonesia harus menghadapi dua masalah yang berbeda yaitu development dan sustainability.
“Kalau dilihat kan dua problem ini tidak bisa diselesaikan secara bersamaan karena ketika kita memprioritaskan development artinya kita menyingkirkan masalah-masalah inisiatif hijau dan tidak bisa berprioritas pada lingkungan. Akan tetapi ketika kita berprioritas pada lingkungan kita juga tidak bisa terlalu berkembang, terutama di sektor ekonomi,” jelas Datu.
Solusinya adalah Indonesia punya hubungan internasional dan kooperasi hubungan bilateral seperti dengan Denmark. Konteks-konteks inilah yang membuat Denmark dan Indonesia memiliki hubungan kerjasama dimana pengalaman Denmark dapat membantu Indonesia untuk memenuhi tujuan-tujuan ambisius tersebut. Denmark sendiri sudah menginisiasi framework energi hijau sejak tahun 1970 jadi Indoensia tidak perlu bersusah payah memulai energi dari nol. Artinya, development dan sustainability bisa berjalan beriringan karena pengalaman Denmark dalam membuat workable plan dapat membantu Indonesia tanpa harus memilih salah satu dari aspek tersebut. (/dbr)