Kamis (20/4) Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik kembali menggelar CEOTalk yang kedua. Jika sebelumnya berhasil mengelar yang pertama dengan tema Digital Business Transformation in Contemporary Indonesia serta menghadirkan Ririek Adriansyah (CEO Telkomsel), berdekatan dengan Hari Kartini CfDS menghadirkan seorang perempuan yang kompeten di bidangnya. Beliau adalah Phillia Wibowo, salah satu perempuan yang menjadi penggerak ekonomi Indonesia dan kini tengah berkarir sebagai CEO McKinsey Indonesia (salah satu perusahaan konsultan manajemen multinasional paling terkemuka).
Sebelum ke acara CEOTalk Session, terlebih dahulu para peserta disambut oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto. Setelah itu dilanjutkan dengan peluncuran buku dan monograf CfDS “Transforming Indonesia into a Smart Nation: A Socio-Political Approach”. Terdapat 7 buku dan monograf yang kini dapat menjadi referensi mengenai smart nation, yaitu:
- Bentuk-bentuk Penerapan E-Government di Pemerintah: Peluang dan Tantangan. Ditulis oleh: Dr. Ely Susanto, Ilham Nurhidayat, M.Ec.Dev., Salsabila Firdausy, S.I.P.
- Assessing the E-Government Development Performance of Southeast Asian Countries (Based on the 2003-2016 UN E-Government Survey). Ditulis oleh: Chiara Anindya, Anang Dwi Santoso, Bimasakti Bhakti K., Ajeng Silvayanti, Yusra Purnamasari
- Analisis Sosial Ekonomi Penggunaan Komputasi Awan dalam Era Transformasi Digital. Ditulis oleh: Dr. Dedy Permadi, Dr. Novi Kurnia, Putri P. Agritansia, M.Acc., Viyasa Rahyaputra, S.I.P., Lodang Kusumo Jati, S.I.P., Hanadia Pasca Yurista, S.I.P., Nabeel Khawarizmy Muna, Gayuh Mustiko Jati, S.I.P.
- Menyongsong Kewirausahaan Digital Indonesia: Analisis Kesiapan Ekosistem Lokal dan Sekolah Menengah Atas di 12 Kota Indonesia. Ditulis oleh: Dr. Dedy Permadi, Fidya Shabrina, S.I.P., Viyasa Rahyaputra, S.I.P.
- Pelayanan Prima: Pedoman Penerapan Momen Kritis Pelayanan dari A sampai Z. Ditulis oleh: Dr. Ratminto, Fidya Shabrina, Rima Ranintya Yusuf, Lutfi Untung Angga Laksana, Sri Wahyuni, Susi Apriyanti
- Kualitas Jurnalisme Publik di Media Online: Kasus Indonesia. Ditulis oleh: Dr. Kuskridho Ambardi, Gilang Desti Parahita, M.A., Lisa Lindawati, M.A., Adam Wijoyo Sukarno, M.A.
Peluncuran buku dan monograf ditandai dengan pemutaran video singkat serta penyerahan buku dan monograf dari penulis kepada Dekan Fisipol UGM. Acara kemudian dilanjutkan dengan CEOTalk Session bersama Phillia Wibowo dengan tema Women’s Empowerment in Digital Innovation.
“Ini pertama kali saya ke UGM, senang sekali bisa diundang ke Jogjakarta. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, ketika saya menerima tema ini sangat menarik yaitu Women’s Empowerment in Digital Innovation. Digital innovation dan women’s empowerment merupakan dua topik yang berbeda namun itu yang akan saya bawakan hari ini dan diakhir saya akan coba satu diskusi yang memantik pemikiran kita apakah digital ini bisa menjadi sesuatu yang membantu dalam women’s empowerment,” ujar Phillia membuka CEOTalk session.
Digital is everywhere. Ketika bangun tidur apakah yang lihat terlebih dahulu? Waktu ke sini menggunakan transportasi apa? Ojek pakai aplikasi Gojek atau manggil? Kalau sudah di kelas mencatat menggunakan apa? Jadi kalau dibilang digital is everywhere, digital is really everywhere.
“Dari pagi, saya juga cari taksi buka aplikasi untuk ke bandara, sampai di bandara tiketnya pun electronic booking dibuka lagi schedulenya, disini sampai mau telfon orang pun pakai handphone lagi. That’s why we say digital is everywhere dalam kehidupan kita,” ujar Phillia.
Saya pernah melakukan satu survey dengan berbagai CEO, pertanyaan pertama apakah bapak atau ibu terlibat dalam suatu inisiatif digital? 60-70% menjawab iya. Pertanyaan kedua, apakah strategi perusahaan bapak/ibu memasukkan dampak-dampak digital dengan bagaimana perusahaan berkembang di masa depan? Ternyata terbalik jawabannya, justru 60-70% bilang engga juga. Lalu yang jadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin terdapat digital inisiatif tetapi strateginya tidak ada? We need to be careful, kalau kita berbicara mengenai digital apakah benar-benar ada dampaknya atau kita hanya sedang ikut dengan arus.
Menurut Phillia Wibowo, definisi dari inovasi digital dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
1. Bagaimana digital itu mengubah pondasi untuk pemikiran bisnis yang lebih lanjut dalam arti data yang dikumpulkan. Misal kalau saya mau pinjam uang sekarang, orang akan tanya saya punya rumah? Punya jaminan? Credit card saya dibayar secara rutin? Kalau data itu terhubung katakan semua punya handphone, misal data pulsa itu bisa diakses oleh bank akan ketahuan berapa kali kita bayar buat beli pulsa. Jadi digital bisa mengubah pondasi bagaimana orang mengumpulkan data.
2. Digital bisa mengubah operasional.
Ada yang pernah dengar BTPN? Ada satu produk namanya jenius dari BTPN digital banking itu yang registrasinya pakai selfie, almost all digitize walaupun belum bisa diaplikasikan karena regulatorynya belum ada. Bisa dikatakan digital karena penemuan ini bisa membuat inovasi cara kerja kita berbeda.
3. Digital berikutnya yang kita sering bilang new frontier of product.
Ada produk yang tadinya tidak ada jadi ada. Misalnya dulu kalau mau nonton video kita harus menyewa dahulu, sekarang sejak inovasi digital kita bisa mengakses video melalui Netflix, Hooq, dan lain lain dan tidak hanya bisa dilihat di layar kecil tapi bisa disambung ke televisi.
Berbicara tentang digital dan perempuan serta kesetaraan gender berbicara tentang ekonomi, bukan karena ini merupakan topik yang hanya ‘bagus’ atau kita penasaran tetapi ada potensi ekonomi. Intinya, jumlah perempuan itu setengah dari populasi usia produktif tapi kontribusi terhadap GDP Global hanya 37% berarti disproporsional dibandingkan dengan laki-laki. Yang unik ternyata, penemuan kami ada di mindset perempuan yang masih berpikir bahwa mengurusi rumah dan keluarga adalah tanggung jawab penuh dari perempuan. Every part should work together baik itu pemerintah, pendidik dan aspek lainnya untuk menyemangati perempuan bisa berkarya dibidangnya masing-masing. Dengan digital sebenarnya kita bisa sebuah kreasi global yang sudah diinisiasi. Mengapa tidak kita mulai hal yang sama di Indonesia? (/dbr)