Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM berkerja sama dengan Kementrian Luar Negeri (Kemlu) menggelar sebuah acara bertajuk ‘Expert Meeting on Digital Diplomacy’, Rabu (17/05/2017). Berlokasi di Ruang Auditorium Fisipol UGM, kegiatan ini sebagai upaya untuk menyikapi semakin berkembangnya teknologi yang memilki dampak yang sangat luas khususnya bagi kehidupan bernegara. Ransomware Wannacry yang menjadi salah satu fenomena terkini kejahatan dunia digital mendapat sorotan dari banyak pihak, sehingga dapat dijadikan pelajaran penting bagi pemerintah maupun masyarakat.
Wakil Menteri Luar Negeri, Dr. H. Abdurrahman Mohammad Fachir pada sambutannya menekankan, bahwa penting bagi suatu negara untuk memiliki mental digital diplomacy, dimana baik itu pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk mengantisipasi adanya kejahatan di dunia digital. Hal tersebut juga berkaitan dengan kemampuan diplomasi untuk menjawab berbagai tantangan di dunia digital. Saat ini, dunia digital mampu merubah partisipasi publik, mendorong semangat keterbukaan serta tranparansi.
“Serba cepat, apapun yang terjadi di berbagai wilayah di dunia bisa cepat tersebar. Teknologi informasi bisa juga membingungkan, hingga terjadi paradox of plenty karena terlalu banyaknya informasi. Mau tidak mau pemerintah harus memiliki strategi,”papar Dr. Abdurrachman Muhammad Fachir.
Ketika menyangkut masalah diplomasi dan politik luar negeri, beliau menyampaikan bahwa pedomannya tertera pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Itulah yang menjadi misi menteri luar negeri siapapun pemimpin Indonesia, yaitu melindungi wilayah dan orang yang ada didalamnya, pemerintah yang berkewajiban mengedukasi rakyatnya, mensejahterakan serta ikut berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia.
Pada dasarnya diplomasi merupakan alat untuk mengelola perubahan, dengan semakin berkembangnya dunia digital, digital diplomacy dapat dijadikan alat untuk menjawab cepatnya perubahan. Kegagalan maupun keberhasilan suatu diplomat dilihat dari kemampuannya mengintepretasikan aspirasi seseorang dalam perubahan konteks.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif CfDS, Dr.Nanang Pamuji Mugasejati dalam sesi bincang dengan ahli, menyampaikan bahwa sekarang ini banyak diplomat digital yang memiliki kemampuan diplomatis yang besar. Ketika ada orang yang mampu mengintrepretasikan suatu perubahan secara terpercaya maka ia dapat menjadi seorang diplomat. Meskipun begitu, face to face diplomacy dan digital diplomacy harus menjadi dua alat yang saling terintegrasi.
“Kemlu harus standing out of the crowd, cerita apa yang membuat digital diplomacy itu viral. Sehingga sebuah cerita dapat di-share berkali-kali. Karena salah satu tujuan diplomasi, ketika diplomat dapat membuat agenda setting dan mencapai pada tipping point tertentu.”ujar Nanang.
Setelah serangkaian acara pembukaan, press conference, dan pleno dilakukan, kemudian dilaksanakan working group dengan para pembicara yang berasal dari dosen, praktisi, tokoh masyarakat, media hingga mahasiswa untuk membahas strategi diplomasi publik Indonesia di era digital. Nantinya hasil dari kegiatan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu masukan bagi Kemlu. (di)