Klinik Politik merupakan program kerjasama antara Research Centre for Politics and Government (PolGov) UGM dan Radio Republik Indoensia (RRI). Klinik Politik sudah diadakan rutin setiap bulan sejak tahun 2014. Dalam Klinik Politik yang mengudara pada tanggal 11 Juli 2017 pukul 08:00-09:00 WIB, PolGov dan RRI mengangkat tema Dana Partai Politik (Parpol): Perlukah Negara Membiayai Partai Politik? Dalam obrolan tersebut hadir Arya Budi selaku Peneliti PolGov sebagai narasumber.
“Isu ini sudah berhembus sejak beberapa minggu terakhir jadi ada ide untuk menaikkan anggaran partai. Partai sekarang itu masih menggunakan anggaran yang dirilis sejak 2009 sudah agak lama, sekitar 5 tahun lebih. Isu yang sekarang ada di publik di media itu adalah menaikkan dari Rp 108,00 menjadi Rp 1000,00 artinya hampir sepuluh kali lipat. Ada yang pro dan kontra,” jelas Arya Budi saat diwawancarai seusai on air.
Masyarakat yang mendukung ide tersebut mengatakan bahwa dana partai penting untuk menciptakan atau menggerakkan fungsi-fungsi partai politik seperti pendidikan, sosialisasi, agregasi politik dan seterusnya. Kedua dengan dana publik, dana dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas karena ketika dana pembiayaan lahir dari publik melalui APBN maka ruang untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas tersedia.
Sementara yang kontra mengatakan bahwa partai belum siap untuk didanai dan oleh karena distrust yang masif kepada partai politik. Masyarakat yang kontra beranggapan bahwa pendanaan oleh negara bukan jaminan tidak adanya korupsi dan fungsi partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun berdasar riset internasional menunjukkan bahwa lebih dari 60-70% negara-negara demokrasi sudah menerapkan subsidi pembiayaan partai oleh negara.
Yang menjadi perdebatan adalah seberapa jauh dana negara ini dialokasikan untuk partai, apakah dana ini untuk menutup keseluruhan pengeluaran partai atau sebagian saja atau hanya beberapa persen. Sejauh ini perlu diketahui bahwa subsidi partai oleh negara sudah dimulai setelah orde baru. Tahun 1999 pelaksanaan pemilu, tahun 2000 sudah ada dana negara yaitu Rp 1000,00 sama dengan yang akan diwacanakan saat ini, direvisi lagi pada tahun 2005 setelah pemilu 2004 menjadi 21 juta per kursi kemudian direvisi lagi tahun 2010 setelah pemilu 2009 menjadi Rp 1008,00 per suara. Hasilnya terkecil kalau menggunakan penghitungan kursi 21 juta jika ditotal partai yang memiliki jatah 100 kursi hanya mendapatkan tidak lebih dari 25 miliar.
Siaran yang berdurasi selama satu jam tersebut mendapatkan animo yang cukup tinggi dari pendengar Radio Republik Indonesia. Terdapat beberapa pertanyaan diantaranya dua melalui dialog interaktif.
Dalam kesempatan dialog interaktif melalui telepon menurut Arya Budi, “Dua pendengar kita merepresentasikan terjadi distrust terhadap DPR sehingga kebijakan tidak dapat dipercaya. Oleh karena distrust muncul argumen bahwa parpol sudah kaya dan korup. Hampir banyak masyarakat kita punya pandangan seperti itu, tentu tidak salah karena itu lahir dari informasi-informasi yang mereka asup. Persoalannya adalah bagaimana masyarakat bisa melihat bahwa memang dana ini akan digunakan sesuai dengan kebijakan maka perlu adanya pengawasan berupa mekanisme pelaporan yang jelas.”
Berdasar riset, fasilitas yang digunakan oleh parpol sebagian besar adalah aset yang dimiliki oleh pimpinan parpol. Contoh ketika Partai Amanat Nasional memiliki gedung bagus lalu ketika terjadi pergantian ketua maka gedung tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi.
“Sebenarnya yang kaya dalam parpol kita adalah bukan kelembagaan tetapi pemimpin karena parpol seperti perusahaan yang sahamnya bisa diperjualbelikan. Ketika orang kaya pergi maka organisasi dan sistem kerja partai melemah. Realitas tersebut yang tidak banyak disadari oleh kita. Kalau nanti kebijakan ini disahkan maka pembiayaan perlu tetapi harus ketat karena ide ini lahir dari distrust terhadap partai politik,” pungkas Arya Budi. (/dbr)