Kamis (31/8) bertempat di Seminar Timur Fisipol UGM, diskusi bertajuk The Politics of Producing Human Rights: Tantangan Implementasi Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Manusia digelar. Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber, yaitu: Dr. Dinna Wisnu (Representatif AICHR untuk ASEAN), Dr. Mu’man Nuryana, Frans Vicky Djalong M.A. sebagai pembicara serta Dana Z Hasibuhan M.A. sebagai moderator.
Menurut Dr. Arie Sujito persoalan human trafficking bukan hanya persoalan hukum namun persoalan kemanusiaan yang perlu dibahas bersama. Hal serupa juga diungkapkan Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, harapannya seminar ini bisa memunculkan ide riset dan advokasi sebagai tindak lanjut. Isu human right tidak bisa hanya dikaji dengan satu disiplin tapi harus dikaji lintas disiplin.
Kesadaran masyarakat tentang bentuk perdagangan manusia masih rendah sehingga seringkali menjadi faktor utama terulangnya kasus tersebut. Menurut Dr. Dinna Wisnu, trafficking in person merupakan kejahatan berat hak asasi manusia karena di dalamnya menggunakan cara, penipuan, kekerasan, intimidasi dan penyalahgunaan kekuasaan dengan menyasar individu yang rentan.
“Modus yang paling sering dipakai adalah seksual dan korban paling besar adalah perempuan. Yang disasar kebanyakan anak usia dibawah 12 tahun dan karena sudah ternoda maka sudah terstigmasi dan akan terjadi dua kali eksploitasi sehingga mereka merasa tidak punya pekerjaan lain serta malu pulang ke kampung halaman karena sudah tidak perawan,” ujar Dr. Dinna Wisnu.
Untuk mengatasi permasalahan human trafficking, ASEAN memiliki konvensi anti perdagangan orang yang dilahirkan pada tahun 2015. Untuk menghormati negara lain di ASEAN yang sudah meratifikasi, Indonesia melahirkan komunitas ASEAN. Komunitas tersebut memiliki tiga pilar yaitu politik dan keamanan, sosial budaya, dan ekonomi. Lahirnya konvensi tersebut membuat human trafficking tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan law inforcement saja tetapi juga dengan adanya pendekatan hak asasi manusia.
“Pendekatan HAM tidak mengizinkan ada pembiaran terhadap negara yang abai pada warganya, semua korban harus teridentifikasi secara baik ‘satu kasus perorang harus ada catatannya’. Kita harus menyediakan protection dan support secepatnya misalnya setiap korban punya hak untuk tidak dibuka identitasnya karena mereka berhak untuk kembali hidup normal ke masyarakat,” jelas Dr. Dinna Wisnu.
Dalam kesempatan tersebut hadir Dr. Mu’man Nuryana yang merupakan perwakilan dari bidang kesejahteraan dan pembangunan sosial atau (SOMSWD) mengatakan bahwa peranan Univesitas Gadjah Mada sebagai lembaga pendidikan ada di bidang pencegahan.
“Kami berharap UGM turut serta dalam memberikan pendidikan human right dan rehabilitasi sosial, serta merumuskan materi kurikulum tentang trafficking berdasar AICHR dan menciptakan rumusan tentang publikasi penyadaran kepada penduduk. Untuk peningkatan kesadaran masyarakat dengan menciptakan community residence model terutama bagi mereka yang rentan terhadap trafficker,” jelas Dr. Mu’man Nuryana.
Turut hadir Frans Vicky Djalong M.A (Dosen Departemen Sosiologi), beliau sepakat dengan Dr. Dinna Wisnu bahwa untuk menyelesaikan permasalahan human trafficking tidak bisa hanya menggunakan pendekatan law inforcement akan tetapi human development dimana negara turut serta mencerdaskan bangsanya dengan memberikan peningkatan kapasitas kepada masyarakat. (/dbr)