Pada seri Bincang ASEAN kali ini (15/9), ASEAN Studies Center (ASC) mendatangkan Ezka Amalia, seorang mahasiswa pascasarjana dari Graduate School of International Development Nagoya University. Ezka Amalia membawakan topik mengenai isu advokasi, perlindungan, serta pemberdayaan buruh migran perempuan Indonesia pada diskusi yang diselenggarakan di ruang BC 207 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM. Peserta yang hadir sendiri datang dari kalangan beragam, mulai dari mahasiswa hingga perwakilan instansi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Ezka membuka diskusi dwi-mingguan ini dengan pemaparan isu-isu seputar tenaga kerja migran wanita Indonesia. Menurutnya, setidaknya terdapat dua isu utama yaitu feminisasi migrasi dan perlindungan hak tenaga kerja migran wanita Indonesia. Pada isu feminisasi tenaga kerja, terdapat dominasi perempuan pada pola migrasi tenaga kerja. Hal ini menyebabkan situasi rentan yang diakibatkan oleh sistem yang bersifat patriarkis di negara pengirim dan penerima, dimana perempuan identik dengan pekerjaan domestik seperti pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan yang bersifat domestik inilah yang menjadi celah terjadinya kerentanan, karena dianggap tidak termasuk dalam ranah produksi, sehingga perhatian mengenai hukum dan hak pekerja sering kali terlewatkan. Selain itu meskipun terdapat beberapa instrumen perlindungan internasional, tata kelola migrasi tenaga kerja lebih berfokus pada upaya mengontrol alur migrasi, dibandingkan dengan upaya perlindungan hak-hak tenaga kerja migran.
Indonesia sendiri merupakan salah satu pengirim buruh migran perempuan terbesar di Asia. Hal ini seiring dengan meningkatnya tren wanita pekerja di negara penerima yang menyebabkan kekosongan pada ranah pekerjaan rumah tangga. Hong Kong sebagai salah satu tempat dengan jumlah buruh migran wanita Indonesia yang banyak, dinilai lebih baik dalam persoalan perlindungan terhadap buruh migran. Hal ini diakibatkan karena pemerintah Hong Kong melalui perundang-undangannya memberikan hak untuk berorganisasi serta hak untuk beristirahat – dimana dalam seminggu diberikan jatah untuk libur pada hari Minggu–. Meskipun pada kenyataannya, jarang ditemukan buruh migran wanita yang menggunakan hak tersebut. Ini dikarenakan masih kurangnya informasi terkait hak-hak tersebut serta tawaran untuk tetap bekerja dengan tambahan bayaran pada hari Minggu. Lebih lanjut, pemenuhan hak-hak ini masih memiliki beragam celah dalam pelaksanaannya. Hal ini diperparah dengan dianggapnya buruh migran perempuan sebagai marginal citizens, sehingga dengan status tersebut, pemenuhan hak secara total sebagai seorang ‘warga negara’ dirasa kurang perlu. Selain itu, hak untuk libur dan berorganisasi sudah dirasa cukup untuk kehidupan buruh migran.
Dipaparkan oleh Ezka, respon pemerintah yang kurang tanggap terhadap perlindungan buruh migran wanita memancing terjadinya peningkatan aktivitas advokasi yang dilakukan oleh beragam Non-Governmental Organization (NGO) ataupun serikat buruh migran. Salah satu contoh yang paling vokal di Indonesia adalah Migrant Care dan Solidaritas Perempuan. Selain itu, juga terdapat organisasi yang didirikan di negara penerima oleh buruh migran wanita, seperti Indonesian Migrant Workers Union (IMWU). Gerakan advokasi ini kemudian dituntut untuk tidak hanya dilakukan di negara pengirim atau negara penerima saja, namun keduanya. Hal ini diakibatkan sifat dari migrasi yang bersifat transnasional, sehingga isu tersebut tidak dapat dipisahkan dari relasi kedua negara. Terkait dengan fokus isu, meskipun memiliki basis isu yang sama, yaitu perlindungan hak buruh migran, terdapat perbedaan dalam pemilihan urgensi isu dalam badan-badan advokasi ini. Misalnya IMWU yang lebih berfokus pada isu-isu terkait upah ataupun hak yang diaplikasikan sehari-hari dan Migrant Care yang memiliki fokus pada isu jangka panjang seperti pola migrasi.
Sebelum menutup presentasinya, Ezka memperlihatkan sisi positif dari migrasi buruh ini. Dimana menurutnya, migrasi pekerja dapat berakibat pada pemberdayaan buruh. Hal ini bisa ditilik lebih jauh dalam aspek ekonomi, dimana terjadi peningkatan taraf hidup karena mendapatkan lapangan pekerjaan yang seringkali tidak mampu disediakan oleh pemerintah negara pengirim. Mengambil contoh Hong Kong, Ezka juga melihat terdapat pemberdayaan dalam ranah politik, dimana para buruh migran wanita mulai ‘melek’ terhadap politik dan aktivisme karena adanya hak untuk berorganisasi dan hak untuk beristirahat. Pada akhirnya, migrasi pekerja secara ideal merupakan hal positif yang dapat diambil manfaatnya. Meskipun pada kenyataannya masih terdapat banyak celah yang harus diperbaiki guna melindungi hak-hak para pekerja tersebut. (/fkm)