Melanjutkan dari seri sebelumnya yaitu “How To be a Selebgram”, Career Development Center kali ini membuat kelas bertajuk “How to be an Activist” yang diisi oleh Dr. Arie Sujito, S.Sos, M.Si atau yang akrab dipanggil Mas Arie oleh kolega dan mahasiswanya. Kelas yang berlangsung pada Jum’at (22/9) ini dimoderatori oleh Galih Purbaningrum, staf pengajar dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Bertempat di Ruang 10 Gedung BE Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, acara ini dihadiri oleh belasan peserta yang berasal dari latar belakang berbeda-beda. Arie yang merupakan dosen sekaligus Kepala Departemen Sosiologi FISIPOL UGM, dikenal sebagai sosok aktivis di Fisipol UGM. Dimana beliau berkecimpung selama enam tahun sebagai aktivis ketika menempuh studi strata satu.
Diskusi dibuka oleh Arie Sujito dengan membicarakan sterotip pada relasi antara aktivis dan buruknya nilai akademis. Menurutnya, hal ini bisa jadi benar, namun memiliki banyak faktor di luar aktivisme yang digalakkan, misalnya saja faktor dosen yang tidak cukup terbuka terhadap informasi. Alumni Sosiologi UGM ini sendiri sendiri memulai jejak aktivismenya sejak duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA), dimana ia dulu memimpin demonstrasi siswa terhadap larangan penggunaan jilbab dan isu seragam di sekolahnya. Hal ini ia lanjutkan ketika ia masuk ke jenjang pendidikan tinggi di Fisipol UGM, dimana ia mendapat pengaruh sejak masa orientasi siswa kala itu. Arie menuturkan bahwa menjadi mahasiswa Fisipol UGM memiliki beban moral yang amat berat, dimana mahasiswa menanggung beban sejarah dan titel ‘kampus pro-rakyat’ pada masyarakat. Lebih lanjut, bagi Arie, semua orang dapat menjadi aktivis, baik mereka yang berkuliah ataupun tidak. Yang membedakan hanya ketika seseorang mendapat kesempatan berkuliah, maka ia mendapatkan kemewahan pada akses untuk pengetahuan dan perspektif yang lebih kaya.
“Yang pertama harus dimiliki oleh seorang aktivis adalah kepekaan,” tutur Arie dalam membeberkan kunci menjadi seorang aktivis. Menurutnya salah satu hal paling esensial yang harus dimiliki adalah kepekaan terhadap realita sosial di sekeliling kita. Hal ini dikarenakan kepekaan akan berperan penting dalam kunci yang kedua, yaitu kemampuan dalam mentransformasi kesadaran individual menjadi sebuah kesadaran kolektif. Dikatakan oleh Arie, bahwa untuk mencapai hal ini, terdapat beragam sarana, salah satunya adalah adanya organisasi mahasiswa. Pada taraf ini, terdapat fase-fase dimana yang tidak tahu menjadi tahu, yang tahu menjadi sadar, dan yang sadar menjadi mau bertindak. Lalu yang ketiga adalah memiliki kemampuan mengabstraksi dan memberi makna. Hal ini yang kemudian menuntut seorang aktivis untuk dapat melakukan framing dan pemberian makna pada sesuatu. Ia menambahkan, geliat aktivis saat ini memiliki kecenderungan untuk framing dan mendengarkan karya orang lain secara terbatas, berbeda dengan era ketika ia aktif menjadi aktivis.
Arie mengatakan bahwa menjadi aktivis merupakan sebuah pilihan. Dimana seseorang akan mendapatkan dorongan kuat untuk mencari makna dari pengetahuan yang diperoleh dalam kelas. Lebih lanjut Arie betul-betul menekankan bahwa seseorang akan dapat membaca sesuatu yang tidak terjawab di kelas melalui gerakan aktivisme ketika melihat realita sosial secara langsung. Ia bahkan bergurau dengan mengatakan, “aktivis tidak lebih tinggi statusnya dengan mahasiswa lain. Namun, dengan menjadi aktivis, hal ini mendekatkan keimanan sosial kita menjadi lebih tinggi.” Terkait dengan aktivisme era kontemporer, aktivis saat ini ia rasa memiliki lebih banyak sarana dibanding ketika era Arie yang berada di bawah rezim Orde Baru. Karenanya, kata dia, akan menjadi tidak adil bila mengukur aktivisme saat ini dengan geliat aktivisme dulu. Hal ini dikarenakan zaman sudah berubah, dimana strutkur politik sudah berbeda, isu menjadi dinamis, dan faktor-faktor lain yang akhirnya mengakibatkan bentuk-bentuk artikulasi aktivisme juga berbeda. Sebagai penutup, Arie Sujito mengatakan jika selalu ada cita rasa berbeda ketika seseorang menjadi aktivis, hal itu tercermin dari pandangannya terhadap arena kuliah yang dirasa jauh lebih bermakna.